Langsung ke konten utama

Budaya Kalimantan Selatan

Budaya Kalimantan Selatan


Hai teman - teman semua!!! kali ini aku bakal berbagi ilmu tentang kebudayaan yang ada di Kalimantan Selatan. Sebenernya sih ini tugas proyek IPS, dulu sempet kesusahan buatnya tapi ga pa pa lah berbagi ilmu itu kan ibadah:) Ok, to the point aja lah yaa....

A.    Bahasa Daerah Kalimantan Selatan
Di tanah asalnya di Kalimantan Selatan, bahasa Banjar yang merupakan bahasa sastra lisan terbagi menjadi dua dialek besar yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Sebelum dikenal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, pada zaman dahulu apabila berpidato, menulis atau mengarang, orang Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar dengan menggunakan aksara Arab. Tulisan atau huruf yang digunakan umumnya huruf atau tulisan Arab gundul dengan bahasa tulis bahasa Melayu (versi Banjar). Semua naskah kuno yang ditulis dengan tangan seperti puisi, Syair Siti Zubaidah, syair Tajul Muluk, syair Burung Karuang, dan bahkan Hikayat Banjar dan Tutur Candi menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu (versi Banjar).
Bahasa Banjar dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Minangkabaubahasa Betawibahasa Iban, dan lain-lain.
Karena kedudukannya sebagai lingua franca, pemakai bahasa Banjar lebih banyak daripada jumlah suku Banjar itu sendiri. Selain di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjar yang semula sebagai bahasa suku bangsa juga menjadi lingua franca di daerah lainnya, yakni Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta di daerah Kabupaten Indragiri HilirRiau, sebagai bahasa penghubung antar suku. Di Kalimantan Tengah, tingkat pemertahanan bahasa Banjar cukup tinggi tidak sekadar bertahan di komunitasnya sendiri, bahkan menggeser (shifting) bahasa-bahasa orang Dayak. Penyebaran bahasa Banjar sebagai lingua franca ke luar dari tanah asalnya memunculkan varian Bahasa Banjar versi lokal yang merupakan interaksi bahasa Banjar dengan bahasa yang ada di sekitarnya misalnya bahasa Samarinda, dan bahasa Kumai. Di sepanjang daerah hulu sungai Barito atau sering disebut kawasan Barito Raya (Tanah Dusun) dapat dijumpai bahasa Banjar versi logat Barito misalnya di kota Tamiang Layang digunakan bahasa Banjar dengan logat Dayak Maanyan.
Pemakaian bahasa Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di Kalimantan Selatan dan sekitarnya lebih dominan dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Berbagai suku di Kalimantan Selatan dan sekitarnya berusaha menguasai bahasa Banjar, sehingga dapat pula kita jumpai bahasa Banjar yang diucapkan dengan logat Jawa atau Madura yang masih terasa kental seperti yang kita jumpai di kota Banjarmasin.
Bahasa Banjar juga masih digunakan pada sebagian permukiman suku Banjar di Malaysia seperti di Kampung (Desa) Parit Abas, Mukim (Kecamatan) Kuala Kurau, Daerah (Kabupaten) KerianNegeri Perak Darul Ridzuan.
Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa Dayak. Kesamaan leksikal bahasa Banjar terhadap bahasa lainnya yaitu 73% dengan bahasa Indonesia [ind], 66% dengan bahasa Tamuan (Malayic Dayak), 45% dengan bahasa Bakumpai [bkr], 35% dengan bahasa Ngaju [nij]. Hasil penelitian Wurm dan Willson (1975), hubungan kekerabatan antara Bahasa Melayu dan Bahasa Banjar mencapai angka 85 persen. Adapun kekerabatan dengan bahasa Maanyan sekitar 32 % dan dengan bahasa Ngaju 39 %, berdasarkan penelitian Zaini HD1. Bahasa Banjar mempunyai hubungan dengan bahasa yang digunakan suku Kedayan(sebuah dialek dalam bahasa Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan bahasa Banjar sering pula disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh pendatang. Walaupun terjadi penurunan penggunaan bahasa Banjar namun laju penurunan tersebut tidak sangat kentara. Saat ini, Bahasa Banjar sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan sebagai muatan lokal. Bahasa Banjar juga memiliki sejumlah peribahasa.
Walaupun bahasa Banjar dianggap sebagai bahasa Melayu, tetapi faktanya tidak ada kekerabatan dengan bahasa Melayu lainnya. Bahasa Banjar dibagi menjadi dua dialek besar, yaitu dialek Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Perbedaan utama antara kedua dialek tersebut adalah fonologi dan kosa kata, meskipun susunan sintaksisnya yang sedikit berbeda juga dapat diberitahukan. Banjar Hulu hanya mempunyai tiga huruf vokal saja, yaitu /i/, /u/, and /a/. Apabila sebuah kata mengandung huruf vokal selain huruf ketiga tersebut, maka huruf asing tersebut diganti dari salah satu dari mereka berdasarkan pada kedekatan ketinggiannya dan kualitas huruf vokal yang lain.
Sebagai contoh, penutur bahasa Banjar mencoba mengucapkan kata yang berasal dari bahasa Inggris "logo" akan diucapkan seperti kata bahasa Indonesia untuk polos, "lugu". Kata bahasa Indonesia "orang" akan diucapkan sebagai "urang". Kata "kemana" akan diucapkan dan bahkan sering kali diucapkan sebagai "kamana". Karakteristik khusus yang lain dari dialek Banjar Hulu adalah kata yang berawalan dengan huruf vokal sebagian besar diucapkan /h/ di awal pada sebuah kata. Penambahan /h/ juga dapat diucapkan dalam ejaan.
Banjar Kuala mempunyai lima huruf vokal /a, i, u, e, o/.

Peta persebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah. Meski suku Banjar bermigrasi ke berbagai daerah, namun bahasa Banjar masih tetap mereka bawa dan dipakai dalam percakapan sehari-hari. Daerah perantauan orang Banjar yang masih menuturkan bahasa Banjar secara asli adalah di daerah Sumatera dan Malaysia Barat.
Secara geografis, suku ini pada mulanya mendiami hampir seluruh wilayah provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini yang kemudian akibat perpindahan atau percampuran penduduk dan kebudayaannya di dalam proses waktu berabad-abad, maka suku Banjar dan bahasa Banjar tersebar meluas sampai ke daerah-daerah pesisir Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, bahkan banyak didapatkan di beberapa tempat di pulau Sumatera yang kebetulan menjadi permukiman perantau Banjar sejak lama seperti di Muara TungkalTembilahan, dan Sapat.
Selain di pantai timur pulau Sumatera, bahasa Banjar dapat dijumpai juga pada perkampungan Suku Banjar yang berada di pantai barat semenanjung Malaya di Malaysia Barat (Perak Tengah, Krian, Pahang, Kuala Selangor, Batu Pahat, Kuala Lumpur, walaupun karena pertimbangan politik, suku Banjar di Malaya disebut sebagai orang Melayu, tetapi di luar wilayah Malaya, seperti di Sabah dan Sarawak misalnya di daerah Tawau masih menyebut dirinya suku Banjar.
Menurut Cense, bahasa Banjar dipergunakan oleh penduduk sekitar Banjarmasin dan Hulu Sungai. Akibat penyebaran penduduk, bahasa Banjar sampai di Kutai dan tempat-tempat lain di Kalimantan Timur. Sedangkan Den Hamer melokalisasi bahasa Banjar itu di samping daerah Banjarmasin dan Hulu Sungai sampai pula ke daerah pulau Laut (Kalimantan Tenggara) dan Sampit yang secara administratif pemerintahan termasuk provinsi Kalimantan Tengah sekarang ini. Dibandingkan dengan perantau-perantau dari daerah lain yang umumnya masih mempunyai ikatan yang cukup kuat dengan daerah asal maupun kerabat dari daerah asal seperti perantau MinangBugis dan Madura, maka pola merantau suku Banjar berbeda. Perantau Banjar cenderung merantau hilang, yakni tak lagi menjalin kontak dengan orang-orang daerah asal, tak banyak surat menyurat dan tak banyak pulang ke daerah asal, namun tidak sama sekali meninggalkan kebanjarannya. Ciri kebanjaran yang mencolok yang cenderung dipertahankan orang Banjar adalah bahasa Banjar yang dapat dipertahankan dengan cara membangun permukiman khusus komunitas orang yang berasal dari daerah Banjar di tanah rantau, sehingga di dalam rumah tangga maupun kampung yang baru, mereka dapat mempertahankan bahasa Banjar, maka kebanjaran orang Banjar terutama sekali terletak pada bahasanya dan tanah air orang Banjar adalah bahasa Banjar.
Selama seseorang fasih menggunakan bahasa Banjar dalam kehidupan sehari-hari maka dia dapat disebut orang Banjar, tidak peduli apakah ia lahir di Tanah Banjar atau bukan, berdarah Banjar atau bukan, dan sebagainya. Bahasa merupakan salah satu faktor kebanjarandisamping faktor lainnya seperti adat istiadat dan lain-lain.

Bahasa Banjar no. 6
Kalau diperhatikan pembicara-pembicara bahasa Banjar dapat diidentifikasi adanya variasi-variasi dalam pengucapan ataupun perbedaan-perbedaan kosa kata satu kelompok dengan kelompok suku Banjar lainnya, dan perbedaan itu dapat disebut dialek dari bahasa Banjar yang bisa dibedakan antara dua dialek besar yaitu;
·               Bahasa Banjar Hulu Sungai/Bahasa Banjar Hulu
·               Bahasa Banjar Kuala
Dialek Banjar Kuala umumnya dipakai oleh penduduk asli sekitar kota BanjarmasinMartapura dan Pelaihari. Sedangkan dialek Banjar Hulu adalah bahasa Banjar yang dipakai penduduk daerah Hulu Sungai umumnya yaitu daerah Kabupaten TapinHulu Sungai SelatanHulu Sungai TengahHulu Sungai Utara (dan Balangan) serta Tabalong. Pemakai dialek Banjar Hulu ini jauh lebih luas dan masih menunjukkan beberapa variasi subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan istilah dialek lokal yaitu seperti AmuntaiAlabiuKaluaKandanganTanjung dan bahkan Den Hamer cenderung berpendapat bahwa bahasa yang dipakai oleh orang Bukit yaitu penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek Banjar Hulu pula. Dan mungkin subdialek baik Banjar Kuala maupun Banjar Hulu itu masih banyak lagi, kalau melihat banyaknya variasi pemakaian bahasa Banjar yang masih memerlukan penelitian yang lebih cermat dari para ahli dialektrografi sehingga bahasa Banjar itu dengan segala subdialeknya bisa dipetakan secara cermat dan tepat. Berdasarkan pengamatan yang ada, pemakaian antara dialek besar Banjar Kuala dengan Banjar Hulu dapat dilihat paling tidak dari dua hal, yaitu:
1.            Adanya perbedaan pada kosa kata tertentu;
2.            Perbedaan pada bunyi ucapan terhadap fonem tertentu. Di samping itu ada pula pada perbedaan lagu dan tekanan meskipun yang terakhir ini bersifat tidak membedakan (non distinctive).
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai di wilayah Banua Enam yang merupakan bekas Afdelling Kandangan dan Afdeeling Amoentai (suatu pembagian wilayah pada zaman pendudukan Belanda) yang meliputi kabupaten TapinHulu Sungai SelatanHulu Sungai TengahHulu Sungai UtaraBalangan dan Tabalong pada pembagian adiministrasi saat ini.
Puak-puak suku Banjar Hulu Sungai dengan dialek-dialeknya masing-masing relatif bersesuaian dengan pembagian administratif pada zaman kerajaan Banjar dan Hindia Belanda yaitu menurut Lalawangan atau distrik (Kawedanan) pada masa itu, yang pada zaman sekarang sudah berbeda. Puak-puak suku Banjar di daerah Hulu Sungai tersebut misalnya :
1.Orang Kelua dari bekas Distrik Kelua di hilir Daerah Aliran Sungai Tabalong,Kabupaten Tabalong.
2.Orang Tanjung dari bekas Distrik Tabalong di hulu Daerah Aliran Sungai TabalongKabupaten Tabalong
3.Orang Lampihong/Orang Balangan dari bekas Distrik Balangan (Paringin) di Daerah Aliran Sungai BalanganKabupaten Balangan
4.Orang Amuntai dari bekas Distrik Amuntai di Hulu Sungai Utara
5.Orang Alabio dari bekas Distrik Alabio di Hulu Sungai Utara
6.Orang Alai dari bekas Distrik Batang Alai di Daerah Aliran Sungai Batang AlaiHulu Sungai Tengah
7.Orang Pantai Hambawang/Labuan Amas dari bekas Distrik Labuan Amas di Daerah Aliran Sungai Labuan AmasHulu Sungai Tengah
8.Orang Negara dari bekas Distrik Negara di tepi Sungai NegaraHulu Sungai Selatan.
9.Orang Kandangan dari bekas Distrik Amandit di Daerah Aliran Sungai AmanditHulu Sungai Selatan
10.        Orang Margasari dari bekas Distrik Margasari di Kabupaten Tapin
11.        Orang Rantau dari bekas Distrik Benua Empat di Daerah Aliran Sungai TapinKabupaten Tapin
Daerah Oloe Soengai dahulu merupakan pusat kerajaan Hindu, di mana asal mula perkembangan bahasa Melayu Banjar.
Dialek merupakan variasi dari suatu bahasa tertentu dan dituturkan oleh sekumpulan masyarakat bahasa tersebut. Dialek ditentukan oleh fakor geografis (dialek kawasan) dan sosial (dialek sosial). Dialek sosial seperti bahasa baku, bahasa basahan (bahasa kolokial), bahasa formal, bahasa tak formal, bahasa istana, bahasa slanga (prokem), bahasa pasar, bahasa halus, bahasa kasar dan sebagainya.

Dialek kawasan berbeda dari segi:
·               Sebutan
·               Contoh: Perkataan gimit (pelan) disebut dalam berbagai dialek seperti gamatgimitgémétgumut.[49]
·               Gaya (nada) bahasa
·               Contoh: Subdialek Kalua biasanya mempunyai sebutan yang lebih panjang daripada Subdialek Banjarmasin.
·               Tata bahasa
·               Contoh: kuriak-kuriak (dialek Banjar Kuala) dan kukuriak (dialek Banjar Hulu).[50]
·               Kosa kata
·               Contoh: hamput (Banjarmasin), tawak (Barabai), himpat (Kalua), hantup (Tanjung), tukun (Amuntai), tokon (Kumai), tingkalung(Samarinda) artinya lempar (Betawi: sambit).
·               Contoh: adupan (Banjarmasin), hidupan (Barabai), kuyuk (Kalua), kutang (Kandangan), duyu'(Paringin), asu (Marabahan), artinya anjing.
·               Kata ganti diri
·               Contoh : kao (dialek utara Kalsel maksudnya kamu) dan ikam (dialek tengah Kalsel bermaksud kamu) dan nyawa (dialek selatan Kalsel bermaksud kamu)
·               Contoh : ia (dialek utara Kalsel maksudnya dia) dan inya (dialek selatan Kalsel bermaksud dia)

Dialek-dialek Bahasa Banjar Hulu bersesuaian dengan kecamatan-kecamatan yang berpenduduk suku Banjar yang ada di Hulu Sungai, karena orang Banjar menyebut dirinya berdasarkan asal kecamatan atau banua masing-masing. Dialek-dialek tersebut antara lain :
1.            Muara Uya
2.            Haruai
3.            Tanjung
4.            Tanta
5.            Kelua
6.            Banua Lawas
7.            Amuntai
8.            Danau Panggang
9.            Babirik
10.        Sungai Pandan (Alabio)
11.        Batu Mandi
12.        Lampihong
13.        Awayan
14.        Paringin
15.        Juai
16.        Batu Benawa
17.        Haruyan
18.        Batang Alai
19.        Barabai
20.        Pandawan
21.        Labuan Amas
22.        Angkinang
23.        Kandangan
24.        Simpur
25.        Daha (Negara)
26.        Sungai Raya
27.        Telaga Langsat
28.        Padang Batung
29.        Margasari (di kecamatan Candi Laras)
30.        Tapin
31.        Binuang
Mengingat orang-orang Banjar yang berada di Sumatera dan Malaysia Barat mayoritas berasal dari wilayah Hulu Sungai (Banua Enam), maka bahasa Banjar yang dipakai merupakan campuran dari dialek Bahasa Banjar Hulu menurut asal usulnya di Kalimantan Selatan.
Dialek bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di kampung-kampung (handil) yang penduduknya berasal dari Hulu Sungai, seperti di kecamatan GambutAluh AluhTamban yang terdapat di wilayah Banjar Kuala.

Dialek Bahasa Banjar Kuala yaitu bahasa yang meliputi Kabupaten BanjarBarito KualaTanah Laut, serta kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Karena letaknya yang strategis di sekitar sungai Barito, pemakaiannya meluas hingga wilayah pesisir bagian tenggara Kalimantan yaitu kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru sampai ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Bahasa Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi tertentu, jadi berbeda dengan bahasa Banjar Hulu dengan logat yang kental (ba-ilun). Dialek Banjar Kuala yang asli misalnya yang dituturkan di daerah KuinSungai JingahBanua Anyardan sebagainya di sekitar kota Banjarmasin yang merupakan daerah awal berkembangnya kesultanan Banjar.
Bahasa Banjar yang dituturkan di Banjarmasin dengan penduduknya yang heterogen berbeda dengan Bahasa Banjar yang dituturkan di Hulu Sungai dengan penduduknya yang agak homogen. Perbedaan pada umumnya terletak pada intonasi, tekanan, tinggi-rendah dan sebagian kosa kata. Di Banjarmasin, intonasi terbagi tiga karakter.
1.            Di kawasan barat kecamatan Banjarmasin Utara yaitu daerah sepanjang tepian sungai Barito, dekat Pasar Terapung, tepatnya di perkampungan Alalak (dahulu Alalak Besar), penduduk asli di sana menuturkan kata, frasa, kalimat lebih cepat, keras dan tinggi.
2.            Di sepanjang sungai Martapura (Banjarmasin hulu) yang termasuk dalam kawasan timur Kecamatan Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Tengah, terutama sekitar Kelurahan Seberang Mesjid, sekitar Kampung Melayu Darat serta di sekitar Kelurahan Sungai Jingah, masyarakat asli di sana bertutur agak cepat, mengalun dan tinggi.
3.            Di pusat kota Banjarmasin di kecamatan Banjarmasin Tengah, khususnya remaja perkotaan di sana bertutur bercampur bahasa Indonesia dan gaya penuturannya tidak seperti penuturan di daerah pinggiran.

B.     Rumah Adat Kalimantan Selatan
Terdapat sekitar 12 jenis rumah adat yang terdapat di Kalimantan Selatan.

Sejarah Rumah Adat Kalimantan Selatan
Diantara ciri-ciri rumah adat banjar terlihat pada perlambang, bentuk atap, ornamental, dekoratif serta simetris.
Menurut sejarahnya Rumah Adat Banjar telah ada sejak abad ke-16, saat Pangeran Samudera menguasi menjabat sebagai penguasa daerah Bajar pada mulanya memeluk agama Hindu. Masuknya agama Islam ke daerah banjar juga kemudian sedikit banyak mempengaruhi budaya masyarakat serta bentuk bangunan rumah tradisional pada saat itu. Karena pengaruh Agama Islam jugalah Pangeran Samudera kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah dan bergelar Panembahan Batu Habang.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini memiliki konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Perkebangan selanjutnya dari rumah adat banjar adalah penambahan bangunan di sisi kiri dan kanan bangunan utama. Dalam istilah bahasa Banjar penambahan ini disebut “disumbi”.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan itulah yang kemudian disebut dengan anjung. Sehingga saat ini rumah adat banjar sering di kenal dengan sebutan “Rumah Baanjung”.


Seiring dengan perkembangan zaman, rumah tradisional banjar semakin sulit ditemui, sekalipun masih ada, hanya beberapa bangunan rumah adat banjar saja yang masih berdiri. Itupun kondisi rumah-rumah adat ini sudah mulai tua dimakan waktu.
Struktur rumah adat Kalimantan Selatan didominasi oleh kayu, mulai dari pondasi hingga atapnya. Dengan berlimpahnya kayu di Kalimantan tentu hal itu tidak menjadi masalah bagi penduduk pada saat itu.
Berikut adalah contoh kerangka rumah tradisional banjar menggunakan ukuran depa atau tapak kaki. Setiap ukuran memiliki ukuran yang ganjil karena dipercaya memiliki nilai magis.
1. Susuk terbuat dari kayu Ulin
2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran atau Damar Putih
3. Lantai terbuat dari papan kayu Ulin setebal 3 cm
4. Watun Barasuk terbuat dari kayu Ulin berbentuk balok
5. Turus Tawing terbuat dari kayu Damar
6. Rangka pintu dan jendela tebuat dari kayu Ulin berbentuk papan
7. Balabad tebuat kayu Damar Putih berbentuk balok
8. Titian Tikus tebuat dari kayu Damar Putih berbentuk balok
9. Bujuran Sampiran dan Gorden tebuat dari kayu Ulin atau Damar Putih berbentuk balok
10. Tiang Orong-Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan tebuat dari kayu Ulin, kayu Lanan, atau Damar Putih berbentuk balok
11. Kasau terbuat dari kayu Ulin atau Damar Putih berbentuk balok
12. Ring tebuat dari bilah-bilah kayu Damar putih
13. Atap terbuat dari sirap kayu ulin atau Rumbia.



Macam-Macam Rumah Adat Kalimantan Selatan
Rumah adat banjar atau rumah adat Kalimantan Selatan dapat dibedakan menjadi 12 bentuk dan fungsi rumah, yang didasarkan pada kasta dan status serta pemilik dan penghuni rumah itu sendiri.
Berikut adalah beberapa macam-macam rumah adat banjar.


1. Rumah Bubungan Tinggi
Rumah Bubungan Tinggi yang berfungsi sebagai bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap, merupakan rumah yang paling tinggi kastanya. Yang berfungsi sebagai istana kediaman sultan.
Kualitas serta kemegahan seninya mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah.


Ciri-ciri rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjukkan dengan bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Ukiran-ukiran tersebut biasanya terdapat pada tiang, tataban, papilis, dan tangga. Bentuk dan seni ukir inipun banyak mendapat pengaruh dari Agama Islam, kebanyakan motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang gading dan naga juga dibumbui dengan motif floral. Selain bentuk floral dan binatang tedapat juga ukiran-ukiran berbentuk kaligrafi.
2. Rumah Palimasan/Rumah Gajah
Rumah ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak


3. Rumah Balai Bini
Rumah Balai Bini berfungsi khusus dan ditempati oleh inang atau pengasuh.


4. Rumah Gajah Manyusu
Rumah Gajah Manyusu merupakan tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.


5. Rumah Balai Laki
Rumah Balai Laki di pergunakan sebagai tempat tinggal para menteri kesultanan.





Wisata Rumah Adat Kalimantan Selatan

Filosofi Rumah adat Sulawesi Selatan adalah pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan. Pada suku Dayak terdapat kepercayaan bahwa alam semesta terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas (langit) dan alam bawah (bumi). Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang alam atas dan alam bawah. Penghuninya seakan-akan tinggal di bagian tengah dunia yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah.Gabungan dari dunia atas dan dunia bawah dilambangkan dengan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
Rumah adat Kalimantan Selatan masih dapat kita jumpai di beberapa tempat meski usianya sudah mencapai ratusan tahun, sebagian rumah-rumah itu masih ada yang berdiri dan dipelihara dengan baik.
Di Kalimantan Selatan dapat kita jumpai beberapa rumah adat Banjar atau rumah adat kalimantan Selatan di daerah-daerah berikut ini.
1. Desa Sungai Jingah,
2. Kampung Melayu Laut di Melayu,
3. Banjarmasin Tengah, Banjarmasin,
4. Desa Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar,
5. Desa Dalam Pagar,
6. Desa Tibung,
7. Desa Gambah (Kandangan),
8. Desa Birayang (Barabai), dan
9. Negara.



C.    Tari Tradisional Kalimantan Selatan

Secara garis besar tari tradisional yang berkembang di Provinsi Kalimantan Selatan dapat dibedakan menjadi Tari Adat Etnis Banjar dan Tarian tradisional etnis Dayak.

Tari- tarian tradisional Kalimantan Selatan yang masuk kedalam etnis Banjar, telah berkembang sejak masa kesultanan Banjar serta dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Melayu.

Adapun contoh tari-tarian dari Suku Banjar di Kalimantan Selatan antara lain Tari Baksa Kambang, Radap Rahayu, Kuda Gepang, Baksa Dadap, Baksa Hupak, Baksa Katar, Baksa Kupu-kupu, Baksa Lilin, Baksa Panah, Baksa Tameng, Baksa Tumbak, Balatik, Baleha, Batarasulan, Bogam, Dara Manginang, Garah Rahwana, Hantak Sisit, Hanoman, Japin Batuah, Japin Dua Saudara, Japin Hadrah, Japin Kuala, Japin Pasanggrahan, Japin Rantauan, Japin Sisit, Kuda Gepang, Ladon, Maayam Tikar, Ning Tak Ning Gung, Paris Tangkawang, Radap Rahayu, Rudat, Sinoman Hadrah, Tantayungan, Tanggui, Tameng Cakrawati, Tirik Kuala, Tirik Lalan, Topeng Kelana, Topeng Wayang, dan Tari Topeng.

Sedangkan tari Kalimanta Selatan yang berasal dari etnis dayak antara lain tari Tandik Balian, Tari Babangsai dan Tari Kanjar. Dan berikut ini tari-tarian tradisional Kalimantan Selatan bersama penjelasannya.

1. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Baksa Kambang




Tari baksa tameng merupakan jenis tari klasik Banjar dengan menggunakan taming/tameng (perisai).Dalam tarian ini sebuah perisai kecil yang dinamakan taming, dan sebilah keris terhunus dipegang. Tarian ini dimulai dengan perlahan-lahan dan dengan penuh hormat dan kemudian sedikit demi sedikit menjadi lebih cepat dan lebih liar, seolah-olah menggambarkan suatu pertarungan. Tari Baksa Tameng ditarikan oleh penari laki-laki, diiringi musik tradisional atau gamelan dan lagu Parang Lima, Parang Capat. Penari Baksa Tameng menggunakan pakaian tradisional yang menggambarkan seorang ksatria/prajurit.
Tari Baksa Dadap merupakan tari klasik Banjar Kalimantan Selatan, tarian ini masih dipertunjukkan di keraton Banjar menurut laporan orang-orang Belanda yang mengunjungi keraton Banjar terakhir. Dalam mempersembahkan tarian ini para penari memegang busur dan anak panah yang dipanggil dadap. Mereka melompat dengan senjata ini, sambil mengankat sebelah kaki, bergerak dengan amat cepat, seolah-olah mereka terpaksa mempertahankan diri dari serangan yang datang dari semua sudut. Tari Radap Rahayu adalah tarian klasik yang berasal dari Banjarmasin Kalimantan Selatan. Tari Radap Rahayu ini bersifat sakral dan merupakan tarian untuk menyambut tamu sebagai tanda penghormatan. Kata radap berasal dari beradap-adap yang memiliki arti bersama-sama, berkelompok dan atau lebih dari satu. Rahayu memiliki arti galuh wan bungas (perempuan yang cantik). Selain itu, Rahayu memiliki arti kebahagian, kesenangan, kemakmuran.
Pada awalnya, tari Radap Rahayu adalah tarian yang memiliki fungsi sebagai penolak bala dan bersifat ritual bagi masyarakat Banjarmasin. Tari Radap Rahayu dilakukan pada upacara seperti kehamilan, perkawinan, dan kematian. Tari Radap Rahayu sebagai tari penolak bala dan tari meminta keselamatan berasal dari peristiwa di mana kapal Perabu Yaksa berisi patih Lambung Mangkurat yang pulang berkunjung dari kerajaan majapahit. Ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai barito, kapal ini kandas di tengah perjalanan. Perahu oleng dan nyaris terbalik. Situasi itu membuat patih Lambung Mangkurat memuja Bantam yaitu meminta pertolongan pada yang maha kuasa agar kapal diselamatkan. Tak lama, turun tujuh bidadari ke atas kapal kemudian mengadakan upacara beradap-adap. Akhirnya kapal selamat dan para bidadari kembali ke kayangan. Hal itu ditandai dengan gerakan awal dan akhir tarian Radap Rahayu yaitu gerak terbang layang. Kini tari Radap Rahayu lebih dilakukan saat acara-acara penyambutan tamu-tamu sebagai tanda penghormatan. Istilah permohonan kepada Tuhan adalah memuja bantam turun seorang bidadari yang mengadakan upacara beradap - adap diatas kapal. Setelah kapal terselamatkan bidadari tersebut kembali kekayangan dengan gerakan tarian radap Rahayu.  Tari kuda gipang/gepang adalah sebuah seni tari dan budaya yang cukup dikenal luas dikalangan masyarakat melayu Banjar.Tarian ini dipengaruhi oleh kebudayaan etnis Jawa. Tari kuda gipang ditampilkan pada upacara perkawinan masyarakat Banjar. Tari ini biasanya dilengkapi juga dengan diusungnya/bausung kedua pengatin saat menuju pelaminan. Seni tari kuda gipang masih sering dimainkan oleh masyarakat Banjar terutama di Kabupaten Tapin ( Rantau ), Hulu Sungai Selatan (Kandangan), Hulu Sungai Tengah ( Barabai ), Hulu Sungai Utara ( Amuntai ),Dan juga Kabupaten banjar ( Martapura ).
Menurut cerita dahulu Tarian ini berasal dari Lambung Mangkurat yang datang ke Majapahit untuk bertemu dengan Gajah Mada ketika mau pulang di beri hadiah kuda, ketika dinaiki kudanya lumpuh, dengan kesaktiannya kudanya di kecilin dan di bawa pakai tangan untuk dinaikkan ke kapal. Tari Bagandut adalah merupakan tarian rakyat dari Kalimantan Selatan. Tari Bagandut inin merupakan jenis tari tradisional berpasangan yang di masa lampau dan merupakan tari yang menonjolkan erotisme penarinya mirip dengan tari tayub dan tari ronggeng . Gandut artinya tledek (Jawa). Tari Maayam Tikar merupakan jenis tari khas dari Kabupaten Tapin yang menggambarkan remaja putri dari daerah Margasari, Kabupaten Tapin yang sedang menganyam tikar dan anyaman. Tari berdurasi sekitar 6 menit ini biasanya dibawakan oleh 10 orang penari putri. Tari ini diciptakan oleh Muhammad Yusuf, Ketua Sanggar Tari Buana Buluh Merindu, dari kota Rantau, ibukota Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan Tari Tandik Balian, merupakan tarian tradisional yang berasal dari suku Dayak Warukin, yaitu suku Maanyan yang terdapat didesa Warukin dan desa Haus, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Suku Dayak Warukin (Tabalong-Kalsel) merupakan salah satu subsuku Dayak Maanyan yang memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi sebuah atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian.
12. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Topeng      Kata Madihin berasal dari kata madah yang artinya adalah pujian (dalam wikipedia disebutkan asal kata Madihin dari madah yang dalam bahasa Arab artinya nasihat). Seni madihin merupakan salah satu bentuk sastra tradisi ( sastra lisan ) oleh masyarakat Kal-sel dijadikan kesenian khas daerah, yang berisi sair dan pantun yang dinyanyikan. Sarat dengan nasehat – nasehat yang bermanfaat dan diselingi dengan humor yang segar. Serta selalu dapat mengikuti perkembangan zaman dan situasi serta kondisi pada saat ditampilkan termasuk selera penontonnya.
Masyarakat Kalimantan Selatan juga biasa menamakan jenis modifikasi dari busana pengantin adat ini dengan nama baamar galung modifikasi
Musik Kintung termasuk alat musik pentatonis, boleh dikatakan pula sejenis alat musik perkusi. Karena cara membunyikannya dihentakkan pada sebuah potongan kayu yang bundar. Alat musik Kintung ini berjumlah 7 buah dan masing-masing mempunyai nama, yaitu : Hintalu randahhintalu tinggitinti pajaktinti gorokpindua randahpindua tinggi dan gorok tuha.
Kalang Kumpak merupakan alat musik tradisional Suku Bukit. Masyarakat Dayak Maanyan menyebut kalang kumpak dengan nama "salung" yang berfungsi untuk menghibur petani di ladang dan untuk mengusir binatang buas.
Alat musik peninggalan nenek moyang ini biasanya dimainkan saat upacara adat atau acara perkimpoian dan kenduri. Belakangan digunakan untuk acara perkimpoian, menyambut tamu atau pejabat ke kekampung atau acara kenduri lainnya. Namun keberadaan alat musik kurung-kurung saat ini hampir punah.
Alat musik bumbung ini dapat ditemukan di Desa Berikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
1. Asal-usul
Alat musik terbang sendiri telah kita ketahui adalah sejenis alat musik pukul yang terbuat dari kayu berbentuk bulat dengan lubang ditengahnya. Salah satu lubang tersebut ditutup dengan kulit binatang yang apabila dipukul akan mengeluarkan bunyi dengan nada yang sesuai dengan diameter kayu tersebut.
Alat musik terbang sendiri bisa kita temui di beberapa daerah di Indonesia seperti di Provinsi Banten maupun di DKI Jakarta.
Mengingat kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit, maka tak heran jika alat musik tradisional yang digunakan juga banyak memiliki kesamaan. Namun demikian dalam perkembangannya ada dua versi gamelan Banjar. Yaitu gamelan banjar versi keraton dan gamelan banjar kerakyatan.
Gamelan Banjar versi keraton, perangkat instrumennya :
Namun seiring waktu, gamelan banjar versi keraton semakin memudar dan yang sampai saat ini bertahan adalah gamelan bajar versi kerakyatan.
Sarapang biasanya digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan untuk berburu atau menangkap ikan-ikan besar.
Dalam kehidupan masyarakat Kalimatan Selatan, parang biasanya digunakan sebagai senjata dan alat rumah tangga sehari-hari, sebagai senjata berburu atau alat pertanian



Tari Baksa Kambang adalah tarian klasik Banjar yang ditampilkan untuk menyambut tamu Agung yang datang ke Kalimantan Selatan. Tari Baksa Kambang merupakan tarian tunggal yang ditarikan oleh wanita, akan tetapi bisa juga ditarikan oleh beberapa penari wanita.

Tarian Baksa Kambang ini memakai properti sepasang kembang Bogam yaitu rangkaian kembang mawar, melati, kantil dan kenanga. Kembang bogan ini akan dihadiahkan kepada tamu pejabat dan isteri, setelah taraian ini selesai ditarikan. Sebagai gambaran ringkas, tarian ini menggambarkan putri-putri remaja yang cantik sedang bermain-main di taman bunga. Mereka memetik beberapa bunga kemudian dirangkai menjadi kembang bogam kemudian kembang bogam ini mereka bawa bergembira ria sambil menari dengan gemulai. Tari Baksa Kembang memakai Mahkota bernama Gajah Gemuling yang ditatah oleh kembang goyang, sepasang kembang bogam ukuran kecil yang diletakkan pada mahkota dan seuntai anyaman dari daun kelapa muda bernama halilipan.

Tarian Baksa Kambang diiringi seperangkat tetabuhan alat musik tradisional Kalimantan Selatanatau gamelan dengan irama lagu yang sudah baku yaitu lagu Ayakan dan Janklong atau Kambang Muni. Tarian Baksa Kembang ini di dalam masyarakat Banjar ada beberapa versi , ini terjadi setiap keturunan mempunya gaya tersendiri namun masih satu ciri khas sebagai tarian Baksa Kembang, seperti Lagureh, Tapung Tali, Kijik, Jumanang. Pada tahun 1990-an, Taman Budaya Kalimantan Selatan berinisiaf mengumpul pelatih-pelatih tari Baksa Kembang dari segala versi untuk menjadikan satu Tari Baksa Kembang yang baku. Setelah ada kesepakatan, maka diadakanlah workshoup Tari Baksa Kembang dengan pesertanya perwakilan dari daerah Kabupaten dan Kota se Kalimantan Selatan. Walau pun masih ada yang menarikan Tari Baksa Kembang versi yang ada namun hanya berkisar pada keluarga atau lokal, tetapi dalam lomba, festival atau misi kesenian keluar dari Kalimantan Selatan harus menarikan tarian yang sudah dibakukan.
Tarian Baksa tersebut diciptakan pada satu masa seperti tari Baksa lilin, Baksa Dadap, Baksa Tameng dan Baksa Panah ketika jaman hindu sebelum islam datang ke Kalimantan selatan. 

Tari Baksa ini juga ditampilkan untuk keperluan hajatan selain untuk menyambut tamu kehormatan serta kerabat kerajaan. Tari ini pada jaman dahulu hanya ditampilkan untuk kalangan kerajaan saja dan kemudian menyebar ke masyarakat umum. 

Hingga sekarang tari ini masih digunakan untuk menyambut tamu yang dihormati meskipun para penari banyak yang belum mengetahui arti serta nilai tari Baksa kembang. Tari ini identik dengan kelembutan yang mencerminkan kelembutan tuan rumah menyambut tamu. 

Kelembutan tersebut disimbolkan dengan pemberian kembang terhadap tamu dan sebuah nilai- nilai cinta sepasang kekasih pangeran Suria Wangsa Gangga dengan putri kuripan.  



2. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Baksa Tameng


Tari baksa tameng merupakan jenis tari klasik Banjar dengan menggunakan taming/tameng (perisai).Dalam tarian ini sebuah perisai kecil yang dinamakan taming, dan sebilah keris terhunus dipegang. Tarian ini dimulai dengan perlahan-lahan dan dengan penuh hormat dan kemudian sedikit demi sedikit menjadi lebih cepat dan lebih liar, seolah-olah menggambarkan suatu pertarungan. Tari Baksa Tameng ditarikan oleh penari laki-laki, diiringi musik tradisional atau gamelan dan lagu Parang Lima, Parang Capat. Penari Baksa Tameng menggunakan pakaian tradisional yang menggambarkan seorang ksatria/prajurit. 

3. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Baksa Dadap


Tari Baksa Dadap merupakan tari klasik Banjar Kalimantan Selatan, tarian ini masih dipertunjukkan di keraton Banjar menurut laporan orang-orang Belanda yang mengunjungi keraton Banjar terakhir. Dalam mempersembahkan tarian ini para penari memegang busur dan anak panah yang dipanggil dadap. Mereka melompat dengan senjata ini, sambil mengankat sebelah kaki, bergerak dengan amat cepat, seolah-olah mereka terpaksa mempertahankan diri dari serangan yang datang dari semua sudut. 

4. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Radap Rahayu


Busana yang digunakan penari ini disebut baju layang yang menggambarkan keindahan bidadari. Untuk gerakan ritual menggunakan properti cepu dan bunga rampai ditangan kiri. Iringan yang digunakan adalah nyanyian syair dan iringan musik. 

Berakhirnya kerajaan dwipa tari radap rahayu mengalami kepunahan dan akhirnya oleh Pangeran Hidayatullah seorang seniman Banjar mempopulerkan tari ini. Pada tahun 1955 oleh kyai Amir Hasan Bondan tarian ini dibangkitkan kembali, kelompok tersebut bernama PERPEKINDO Banjarmasin dan eksis hingga sekarang. 


5. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Kuda Gepang

6. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Bagandut

Tari Gandut ini pada mulanya hanya dimainkan di lingkungan istana kerajaan, baru pada kurang lebih tahun 1860-an tari ini berkembang ke pelosok kerajaan dan menjadi jenis kesenian yang disukai oleh golongan rakyat biasa. Tari ini dimainkan setiap ada keramaian, misalnya acara malam perkimpoian, hajad, pengumpulan dana kampung dan sebagainya.

Tari Gandut sejak tahun 1960-an sudah tidak berkembang lagi. Faktor agama Islam merupakan penyebab utama hilangnya jenis kesenian ini ditambah lagi dengan gempuran jenis kesenian modern lainnya. Sekarang Gandut masih bisa dimainkan tetapi tidak lagi sebagai tarian aslinya hanya sebagai pengingat dalam pelestarian kesenian tradisional Banjar.

Syarat menjadi penari Gandut harus cantik sehingga tidak sembarang wanita dapat menjadi penari Gandut. Gandut adalah sebuah profesi. Selain menari penari Gandut juga harus menguasai seni bela diri dan mantra tertentu.

Pertunjukan tari Gandut ini tidak terlepas dari penonton yang usil, sehingga para penari dibekali ilmu tambahan untuk melindungi diri dari ilmu hitam. Penari Gandut jaman dulu banyak diperistri oleh kalangan bangsawan. Penari Gandut selain memiliki paras cantik juga diyakini dapat memikat hati penonton yang dikehendakinya. Misalnya Ratu Komalasari bekas penari Gandut terkenal dan menjadi permaisuri Sultan Adam.
Arena tari Gandut pada masa jayanya digunakan sebagai arena gengsi oleh para lelaki yang ikut menari. Persaingan lelaki adalah dengan mempertontonkan kelihaian menari serta sejumlah uang yang diberikan penari Gandut.

Kini tari Gandut sulit dijumpai karena selain faktor lain juga jenis kesenian modern. Tari Gandut kini telah berkembang dan tidak sesuai dengan tarian aslinya. Tari gandut kini digunakan sebagai hiburan di kerajaan Banjar, Kecamatan Tapin Tengah Kabupaten Tapin untuk pelestarian tradisional Banjar.

7. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Maayam Tikar

8. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Tantayungan
Tari Tantayungan merupakan tarian tradisi masayrakat Banjar Kalimantan Selatan. Tarian ini mempresentasikan kisah dalam tokoh pewayangan. Sehingga tarian ini terkesan hidup lantaran diselingi dengan dialog kelompok penari. Tarian ini sendiri diiringi dengan musik karawitan melalui instrument alat musik tradisional Kalimantan Selatan antara lain babun, gong, sarunai, dan kurung-kurung. Paduan karawitan ini sangat harmoni dengan kelompok tari yang diperankan.

Seni dan tari tantayungan, awalnya kerap ditampilkan di sebuah desa, yakni Desa Ayuang, Barabai. Lalu dikembangkan di Kampung Mu’ui, Desa Pangambau Hulu, Kecamatan Haruyan oleh salah satu damang bernama Amat. Seni khas ini kemudian dikalim oleh pelaku seni HST, Sarbaini, di Desa Barikin sebagai seni khas Hulu Sungai Tengah.

Sayang sampai saat ini keberadaan tari Tantayungan telah hilang tergerus zaman

9. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Tandik Balian

10. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Babangsai

Tarian Babangsai merupakan tarian yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tari Babangsai ini merupakan salah satu tarian ritual dari suku Dayak Bukit. Tarian Babangsai dari Kalimantan Selatan ini hampir sama dengan tari Kanjar, dimana jika tari kanjar dilakukan oleh para lelaki, dan tari Babangsai dilakukan oleh para wanita. Bentuk dari tarian ini berupa gerakan berputar-putar mengelilingi suatu poros berupa altar tempat meletakkan sesaji. Tarian ini mirip dengan tarian upacara ritual pada suku Dayak rumpun Ot Danum.
11. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Kanjar

Tari Kanjar merupakan tarian ritual pada upacara religi suku (Hindu Kaharingan) dari suku Dayak Bukit. Tari Kanjar (ba-kanjar) pada suku Bukit dilakukan oleh penari lelaki, sedangkan tarian serupa jika ditarikan penari wanita disebut tari babangsai. Wujud tarian ini berupa gerakan berputar-putar mengelilingi suatu poros berupa altar tempat meletakan sesaji (korban). Jadi mirip dengan tarian upacara ritual pada suku Dayak rumpun Ot Danum lainnya, misalnya pada suku Dayak Benuaq di Kalimantan Timur


     Tari topeng adalah tari tunggal yang dramatik, berasal dari Jawa, dipengaruhi oleh Sunda, tetapi     roh dan jiwanya adalah banjar.
      Ada topeng kelana, topeng panji, topemg sangkala, dan topeng dalang serta wayang topeng, yang  dicipta sekitar tahun 1920 oleh Dinasti kitut di desa Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.



Tradisi Topeng Banjar yang kini terancam punah. Mendatangi Desa Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Di sinilah, kampung para seniman Topeng Banjar yang tersisa. Perjalanan sejauh 135 kilometer dari Kota Banjarmasin harus ditempuh lewat darat.

Generasi keenam Datu Taruna, moyang yang mewarisi topeng Banjar memiliki beberapa Topeng Banjar yang telah berusia empat abad. Terakhir yang pernah menggunakan adalah Astaliah.

Karakternya antara lain Ranggajiwa, Pamindo, Patih, Pantul, Hambam, Kelana, Penambi, Panji, Tumenggung. Karakter topeng Banjar didominasi warna putih. Dipercaya, topeng-topeng beragam karakter ini memiliki ruh kayu tersendiri yang mendiaminya. Inilah yang kerap membuat penari kerasukan.



Topeng Banjar, sendiri merupakan warisan dari Datu Taruna, pelatih karawitan di Kerajaan Dipa sampai masa Kerajaan Daha pada abad ke-14 silam.

Saat terjadi pergolakan kerajaan, Datu Taruna mengasingkan diri ke daerah yang saat ini dinamakan Barikin. Di tempat ini secara turun-temurun Tradisi Topeng Banjar ini terus dilestarikan.

Para penari masih memiliki hubungan saudara. Pasalnya,berdasarkan wasiat Datu Taruna, hanya para keturunannyalah yang boleh menarikan tarian ini.

Kini, di Barikin hanya tersisa empat remaja inilah yang mau belajar dan meneruskan seni tari leluhurnya ini. Tarian begitu hikmat, mengalun syahdu dengan gamelan Banjar dan nuansa malam hari yang menguatkan nuansa misterius dari tarian sakral ini.
D.    Pertunjukan Tradisional Kalimantan Selatan
      1. Lamut
   



Lamut adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya Banjar, Kalimantan Selatan. Lamut merupakan seni cerita bertutur yang dibawakan dengan terbang, dan alat tabuh.

Biasanya seni lamut dilakukan pada malam hari, mulai pukul 22.00 sampai pukul 04.00 atau menjelang subuh tiba. Sedangkan pembawa cerita dalam lamut diberi julukan ‘Palamutan’. Dalam acara, Palamutan membawa terbang besar (alat musik) yang diletakkan dipangkuannya yang duduk dikelilingi oleh pendengarnya, dari tua-muda, laki-perempuan.

Mereka yang baru melihat seni lamut selalu mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari Timur Tengah, Sobat Orbit. Sebab, kata lamut sendiri berasal dari bahasa Arab laamauta yang artinya tidak mati. Padahal lamut berasal dari negeri China lho. Bahasanya pun semula menggunakan bahasa Tionghoa, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Banjar.

Sekitar tahun 1816, lamut dibawa ke tanah Banjar sampai Amuntai oleh para pedagang Tionghoa. Konon, orang-orang terdahulu sangat menyukai lamut karena membawa cerita yang sangat banyak dan merupakan cerita pengalaman di banyak negeri yang disampaikan dengan menarik.

Berawal di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang China, pemiliki kapal dagang Bintang Tse Cay. Dari pedagang itu, ia pertama kali mendengar alunan syair China. Enam bulan kemudian, Raden Ngabe memperoleh salinan syair China tersebut.

Sejak saat itu Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan apapun. Kemudian lamut berkembang setelah warga memintanya dimainkan setiap kali panen padi berhasil baik. Ketika kesenian hadrah masuk ke daerah Kalimantan Selatan ini, lamut diselenggarakan dengan iringan terbang.

Tidak hanya untuk menyambut panen, seni bertutur itu juga dapat menjadi hiburan pada perkawinan, hari besar keagamaan maupun acara nasional yang disebut lamut karasmin atau baramian. Lamut juga digunakan dalam proses penyembuhan penyakit yang disebut lamut batatamba.
Nama “Lamut” sebagai atribut kesenian ini diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut sebagai perujudan tokoh Semar dalam cerita wayang.
Kesenian ini sangat sederhana sekali karena materi pokok adalah penyampaian cerita oleh seorang seniman yang dikenal sebagai Palamutan. Kesenian ini sudah sangat tua dan langka.
1. Penampilan
Kesenian Lamut ditampilkan umumnya pada waktu malam hari sebagai hiburan rakyat dalam rangka perayaan perkawinan, peringatan hari besar. Penyajian yang biasa memerlukan waktu sekitar 2 sampai 3 jam.
Penampilan kesenian Lamut sebagai hiburan rakyat biasanya dilaksanakan di area terbuka, sang palamutan duduk bersila di atas meja sambil memukul gendang, sementara penonton mengelilinginya. Seorang Palamutan mempergunakan kostum yang bebas karena pakaian tidak termasuk pendukung dalam kesenian ini.

2. Instrumen Lamut
Instrumen kesenian Lamut adalah Tarbang Palamutan yang bergaris tengah 50 cm. Badan tarbang ini dibuat dari batang pohon jingah atau kadang2 dari batang pohon nangka. Gendangnya memakai kulit kambing yang disimpai dengan anyaman rotan berbentuk segitiga. Untuk mengencangkan gendangnya digunakan lingkaran rotan yang disisipkan dari dalam rongga badan di bawah gendang kulit kambing tersebut.
Tarbang ini berfungsi sebagai pendukung utama dari materi pokok cerita yang disajikan oleh Palamutan. Oleh karena itu tarbang harus dipukul oleh Palamutan itu sendiri.
Sesuai jalan cerita maka pukulan tarbang itu juga melahirkan nada-nada yang dinamik, lembut, keras dan sebagainya yang tidak monoton.
3. Cerita Lamut
Kesenian Lamut adalah penyajian cerita yang disampaikan secara lisan oleh Palamutan dalam bahasa bebas. Pada pengantar, bisa juga disisipkan pantun atau syair. Bahasa pengantar ada Bahasa Banjar. Oleh karena itu seorang Palamutan dalam sebuah penyajian dia dapat mewakili semua pihak. Dia juga bertindak sebagai tokoh penyaji orang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Karena itu akan lahir prolog, dialog, epilog dan monolog.
Adapun cerita yang disajikan pada umumnya mengambil cerita kehidupan tokoh panakauan paman Lamut (Semar) sekeluarga dengan versi kehidupan sehari-hari dan kadang2 disesuaikan dengan tata kehidupan masg kini.
Cerita yang dikenal masyarakat Banjar ialah hubungan percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Puteri Jung Mayasari.
Kasan Mandi adalah putera dari Maharaja Bungsu dari negeri Palinggam Cahaya sedangkan Galuh Puteri Jung Mayangsari adalah puteri dari Indra Bayu, raja dari Mesir. Kemudian timbul orang yang ketiga sebagai penghalang yaitu Sultan Aliudin dari Lautan Gandang Mirung yang memiliki kesaktian luar biasa, menjadi tantangan Kasan Mandi. Peperangan terjadi dan dengan bantuan Paman Lamut, Sultan Aliudin dapat dikalahkan. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Puteri Jung Mayangsari yang melahirkan seorang putera, dinamai Bujang Maluala.
Dalam mengungkapkan cerita ini Palamutan menyisipkan humor dengan penampilan tokoh lucu Semar sebagai paman Lamut, Bagung sebagai Anglong, Nalagareng sebagai Anggasina dan Petruk sebagai Lebai.
Keterampilan Palamutan sangat penting dalam menyajikan cerita ini. Karena bukan saja dituntut adanya keseimbangan antara penyajian lisan dengan irama tarbang, juga kadang-kadang harus diikuti dengan mimik dan pantomimik

2.      Madihin

Syair Madihin merupakan jenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena ia menyajikan syair – syair yang berasal dari kalimat – kalimat  akhir yang bersamaan bunyi.
Madah juga di artikan sebagai kata –kata pujian, karena syair – syair madihin dan bait –bait madihin berupa pujian – pujian.
Madihin menurut artilain dalam bahasa Banjar adalah Papadahan atau mamadahi dalam bahasa Indonesia artinya memberi Nasehat ini disebabkan karena isi syair – syair dan pantun berupa nasehat -  nasehat.
Contoh dalam syair Madihin.
    Kepada panganten aku bapasan
    Mulai sakarang diubah kalakuan
    Jangan lagi nang kaya bujangan
    Kahulu kahilir pina kada mangaruan
   
    Dahulu bagadang setiap minggu
    Sudah bakaluarga jangan lagi nang kaya itu
    Laki bagawi iringi do’a restu
    Supaya bagawi kada taganggu

Riwayat seni mahidin
Dalam riwayat ini terdapat empat pendapat yaitu :
Pendapat pertama : seni Madihin berasal dari kampunng Tawia kecamatan angkinang, Kabupaten Hulu sungai selatan. Pemain madihin yang terkenal di kampung itu adalah dullah nyang – nyang.
Pendapat kedua     : seni Madihin berasal dari utara Kalimantan Selatan yaitu perbatasan dengan Malaysia  (malaka).
Pendapat ketiga     : Seni Madihin berasal dari kecamatan Paringin Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan selatan sebab dahulu pamandihin terkenal bernama Dullah nyang-nyang lama bermukim di parangin.
Kesimpulan : Seni madihin berasal dari banjar, berbahasa banjar yang tentu diciptakan etnik banjar. Seni Madihin sudah ada sejak tahun 1800 dan keberadaanya di pengaruhi oleh kasidah dan kebudayaan islam.

Fungsi Seni Madihin dahulu dan sekarang
a. Fungsi Madihin Dahulu   :
1. Untuk menghibur raja – raja atau pejabat. Isi syair dan pantun berisi pujian – pujian sang raja dan pejabat istana.
2. Sebagai Hiburan bagi rakyat pada waktu – waktu tertentu seperti mengisi hiburan sehabis panen, perkawinan dan sunatan.
b. Fungsi Madihin sekarang :
1. Hiburan bagi masyarakat pengisi acara tertentu seperti, perkawinan,  khitanan, peringatan hari – hari besar dan Nasional, seperti 17 agustsus,  Maulid Nabi Muhammad SAW, Pendidikan, Isra Mi’raz dll.    
2. sarana penyampaian pesan kepada masyarakat, seperti penyuluhan  Pembangunan, kesehatan dll.
3. Sebagai alat Kontrol sosial dan penerangan.
3.      Mamanda
Asal Usul
Teater rakyat Mamanda merupakan kesenian asli Suku Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Teater ini telah dibawa oleh rombongan bangsawan Malaka pada tahun 1897 M. Rombongan ini, di samping bermaksud melakukan kegiatan perdagangan, juga memperkenalkan suatu kesenian baru yang bersumber dari syair Abdoel Moeloek. Kesenian tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Badamuluk. Seiring perkembangan zaman, sebutan untuk kesenian ini berkembang menjadi Bamanda atau Mamanda. Berikut ini akan dikemukakan terlebih dahulu bagaimana sejarah dan perkembangan kesenian Mamanda di Kalimantan Selatan.
Sejak masa Kerajaan Negara Dipa, masyarakat Kalimantan Selatan telah mengenal beberapa jenis kesenian tradisional, seperti  wayang, topeng, dan joged. Ketika Islam mulai berkembang di Kalimantan Selatan pada tahun 1550 M, terutama setelah berdirinya Kesultanan Banjar yang mendapat bantuan dari Kesultanan Demak, kesenian-kesenian tradisional semakin dikenal rakyat. Pada masa itu, pihak kerajaan memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk melakukan kegiatan seni dan budaya. Sehingga, kesenian-kesenian yang bercorak Islam makin berkembang, seperti seni hadrah, rudat, zapen Arab, dan sebagainya.
Pada tahun 1620 M, tepatnya pada masa pemerintahan Panembahan Batu Putih (Sultan Rahmatillah), banyak orang mulai mempelajari seni tari dan seni suara yang diajarkan oleh ahli-ahli seni dari Jawa dan Semenanjung Tanah Melayu. Perkembangan kesenian di Kalimantan Selatan masih terus berlanjut. Pada tahun 1701 M, Sultan Banjar pernah mengutus Pangeran Singa Marta untuk membeli kuda Bima. Selain membeli kuda, Pangeran Singa Marta ternyata juga menikah dengan seorang Putri Bima yang dikenal sebagai ahli seni. Mereka kembali ke Kalimantan Selatan dengan membawa sejumlah kesenian tradisional asal Bima. Mereka menciptakan tari Jambangan Kaca dan tari Pagar Mayang. Kesenian-kesenian tradisonal kian dekat di hati rakyat Banjar. Pada masa pemerintahan Pangeran Hidayat (1845-1859 M), kesenian berkembang dengan sangat pesat. Apalagi, Pangeran Hidayat merupakan seorang seniman sejati yang sangat memperhatikan perkembangan kesenian ketika itu.
Pada tahun 1897 M,  rombongan Abdoel Moeloek dari Kesultanan Malaka datang ke Banjar. Rombongan yang lebih dikenal dengan sebutan Komedi Indra Bangsawan ini dipimpin oleh Encik Ibrahim bin Wangsa bersama istrinya, Cik Hawa. Rombongan ini menetap di Banjar hanya selama 10 bulan saja. Meski demikian, kesenian yang dibawa oleh rombongan ini dengan sangat cepat berpengaruh di Banjar. Hingga akhirnya pada abad ke-19 M, muncul sebuah kesenian baru bernama Ba Abdoel Moeloek atau Badamulukyang diperkenalkan oleh  Anggah Putuh dan Anggah Datu Irang. Nama kesenian itu berasal dari judul cerita tentang Abdoel Moeloek yang dikarang oleh Saleha, sepupu Raja Ali Haji. Badamuluk berkembang hingga ke Pasar Lama Margasari, Periuk (Margasari Ilir), Pabaung, Merapian, dan Hulu Sungai. Badamuluk semakin memasyarakat. Seiring perkembangan waktu, masyarakat Banjar lebih senang menyebut kata Mamanda.
Menurut Hermansyah (2007), kesenian Mamanda, sebagaimana pada umumnya teater rakyat, merupakan karya seni yang tercetus dengan sendirinya dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kesenian ini dihayati oleh masyarakat karena memang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Pada awal mulanya, masyarakat membutuhkan adanya hiburan. Lambat laun, mereka juga memerlukan adanya sebuah upacara yang dipadukan dengan hiburan yang sudah ada. Akhirnya, terciptalah kesenian teater rakyat Mamanda ini sebagai bentuk hasil karya dan kreativitas umat manusia.
Kesenian rakyat yang muncul sebagai ekspresi kebudayaan masyarakat biasanya pada masa awal perkembangannya masih sangat sederhana. Ada banyak bentuk teater yang masih sangat sederhana di Indonesia. Teater semacam ini biasanya cukup dilakukan oleh satu, dua, atau tiga orang saja. Pada awal mulanya, teater ini merupakan suatu bentuk sastra ungkapan yang dinyanyikan dan dalam perkembangannya kemudian dipertunjukkan dengan diiringi musik-musik tradisi.
Istilah Mamanda berasal dari kata mama yang berarti paman atau pakcik dan kata nda sebagai morfem terikat yang berarti terhormat. Jika digabung, Mamanda berarti paman yang terhormat. Kata paman merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar. Sapaan ini juga berlaku untuk orang yang dianggap seusia atau sebaya dengan ayah atau orang tua. Kata ini juga sering digunakan oleh seorang sultan ketika menyapa mangkubumi atau wazirnya dengan sebutan mamanda mangkubumi atau mamanda wazir. Kata Mamanda juga sering digunakan dalam syair-syair Banjar.
Ada dua aliran dalam Mamanda, yaitu:
Aliran Batang Banyu. Aliran ini dipentaskan di perairan atau sungai sehingga disebut dengan istilah Mamanda Batang Banyu. Aliran yang juga disebut Mamanda Periuk dan berasal dari Margasari ini merupakan cikal bakal Mamanda.
Aliran Tubau (lahir pada tahun 1937 M). Aliran yang berasal dari Desa Tubau Rantau ini merupakan perkembangan baru dari Mamanda yang kini justru sangat terkenal. Aliran ini berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Dalam pementasannya, cerita yang diangkat tidak bersumber dari syair atau hikayat, namun dikarang sendiri dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Struktur pertunjukannya masih seperti teater pada umumnya, yang dimulai dari ladon atau konom, sidang kerajaan, dan cerita. Pementasan aliran ini tidak mengutamakan musik atau tari, namun lebih mengutamakan bagaimana isi ceritanya. Aliran ini biasanya dipentaskan di daratan sehingga juga dikenal dengan sebutan Mamanda Batubau.    
Mamanda kini mengarah kepada perkembangan kesenian yang lebih populer. Meski begitu, kekhasannya masih tetap terjaga, terutama dalam hal penggunaan bahasa Banjar, simbolisasi nilai-nilai budaya, dan pesan-pesan sosial yang disampaikannya. Struktur dan karakteristik yang menjadi kekhasan Mamanda tidak pernah berubah. Perubahan yang terjadi biasanya hanya pada soal busana, musik, improvisasi, dan ekspresi artistiknya.
Teater Mamanda ternyata tidak hanya berkembang di Kalimantan Selatan, namun juga berkembang pesat di Kutai, Kalimantan Timur, Indonesia. Sebagaimana akan dibahas di bagian akhir, Mamanda juga berkembang di Kecamatan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Sebagai informasi singkat, perkembangan Mamanda di Tembilahan tidak terlepas dari sejarah eksodus sebagian masyarakat Banjar ke daerah itu.
Bentuk-Bentuk Kesenian Mamanda
1. Struktur Pemain
Sebagaimana kesenian tradisional pada umumnya, Mamanda merupakan ekspresi kesenian yang memperlihatkan sisi karakter pada setiap lakon yang dipentaskan. Para pemainnya ada yang berperan sebagai tokoh utama dan ada pula yang berperan sebagai tokoh pendukung. Peran pemain tokoh utama harus ada pada setiap pertunjukan. Sedangkan peran pemain pendukung hanya berdasarkan pada cerita yang mengharuskan kehadirannya. Artinya, kehadiran pemain pendukung hanya ketika dibutuhkan saja.
Tokoh-tokoh utama yang diangkat dalam pementasan Mamanda adalah sebagai berikut:
Sultan
Mangkubumi
Wazir
Perdana menteri
Panglima perang
Harapan I dan harapan II
Khadam/badut
Sandut/putri
Pemain yang memerankan tokoh sultan harus berperawakan gagah, menarik, dan memiliki suara yang tegas. Peran mangkubumi adalah menggantikan kedudukan sultan yang kebetulan sedang ada urusan di luar istana. Wazir bertugas sebagai penasehat sultan. Perdana menteri biasanya memeriksa pekerjaan harapan I dan harapan II. Harapan I dan harapan II bertugas menghias dan mempersiapkan balai persidangan dan menjaga keamanan. Khadam/badut berperan dalam memberikan hiburan segar kepada para penonton, terutama kepada putri/sandut.
Tokoh-tokoh pendukung dalam pementasan Mamanda adalah sebagai berikut:
Anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh             
Anak muda          
Dayang                                                                
Komplotan bial/penyamun                                   
Raja jin                                                                 
Orang miskin
Orang tua
2. Urutan Turunnya Pemain
Urutan turunnya pemain pada pementasan Mamanda sudah tersusun secara rapi. Sebelum dilangsungkan sidang kesultanan, biasanya pertunjukan Mamanda dimulai dengan acara baladon atau ladun, yaitu acara pembukaan yang berisi tentang tari-tarian dan nyanyian. Pemain atau pelaku ladun biasanya berjumlah ganjil, dan ada yang bertindak sebagai pemimpin atau pengikutnya. Baru setelah itu para pemain turun ke pentas secara berurutan. Berikut ini adalah urutan turunnya para pemain:
Harapan I dan harapan II
Harapan I dan harapan II muncul ke pentas pertunjukan. Ketika baru sampai sepertiga arena, tepatnya di dekat meja sidang kesultanan, mereka berhenti sejenak lantas menyebutkan nama, jabatan, dan kemampuannya masing-masing.
Perdana menteri
Perdana menteri berhenti di belakang kedua harapan tersebut. Perdana menteri menyebutkan nama dan jabatannya. Ia kemudian memeriksa pekerjaan kedua harapan tersebut.
Sultan dan para staf
Setelah mendapatkan laporan dari perdana menteri, sultan memasuki ruang sidang kesultanan. Ia diikuti oleh para stafnya, yaitu mangkubumi, wazir, dan perdana menteri. Sesampainya di belakang meja persidangan, sultan memukul-mukulkan tongkatnya sembari memuji segala pekerjaan harapan I dan harapan II. Sultan kemudian mengungkapkan nama, jabatan, dan apa saja seluruh kekuasaannya. Ia menyempatkan diri menyanyikan lagu yang isinya memuji kesultanannya. Lagu-lagu tersebut misalnya:
a.       Lagu Dua Mamanda Banyu
Batari yadan wayuhai lanya pangbastari yadan sayang saying
Angkaumu dangar, kasian banarai barpai sayang lanya pang barpari yadan sayang sayang
Salama saya dinagni pang dinagni
Salama lanya pang la sayang, yadan sayang sayang
Ramai bagaimana, ramai bagaimana, waduhai Ayahnda Wazir nang kusayangi nagri, dalam lanya pang, la nagri yadan sayang sayang
Ramai bagaimana, Ayahnda, Mamanda Mangkubumi nang kusayangi nagri di dalam lanya la nagri yadan sayang saya
b.      Lagu Dua Mamanda Tubau
Aduhai wazir
Usullah Darmawan
Aduhai wazir
Usullah Darmawan
Cukup atawa bukan
Waduhai uang pemberian
Yalan yalan yalan
Dengan sabanar jua wayuhai nang
Lamak sadang mangatakan
Betalah mangatakan, katakan,
betalah mangatakan
Yalan yalan yalan
Setelah selesai bernyanyi dan menari-nari, sultan pun memerintahkan para stafnya untuk ikut bernyanyi dan menari bersama. Suasana sidang menjadi penuh dengan luapan kegembiraan. Sultan kemudian menyatakan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah bergembira bersamanya.
Panglima perang
Jika ternyata sultan memiliki putra-putri, maka mereka diharapkan agar datang ke sidang sebelum acara dimulai. Kedatangan mereka ke dalam ruang sidang diiringi oleh dayang-dayang. Sultan kemudian memerintahkan harapan I dan harapan II untuk menjemput panglima perang ke ruang sidang kesultanan. Setelah acara sidang kesultanan selesai digelar, para pemain kembali ke balairung seri yang letaknya tidak jauh dari pentas pertunjukan. Ketika ada jeda waktu, biasanya acara pertunjukan bisa diisi dengan tari-tarian.
Pemain
Dalam bagian ini, para pemain yang akan diturunkan disesuaikan dengan bagaimana isi jalannya cerita. Artinya, peran mereka tidak perlu lagi didasarkan pada tradisi turunnya pemain dalam sidang kesultanan yang sebelumnya telah usai digelar.
Anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh
Bagian ini merupakan akhir dari pertunjukan Mamanda. Acara yang digelar berupa babujukan, yaitu semacam acara peminangan terhadap satu atau beberapa orang putri yang dilakukan oleh anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh. Acara ini dilakukan dengan nyanyian dan tarian, yang juga diiringi dengan kata-kata rayuan.
Sebagai catatan tambahan, setiap pemain yang diturunkan sering dimulai dengan penjelasan yang menggunakan monolog tertentu. Monolog yang diucapkan masing-masing berbeda karena disesuaikan dengan lakon yang diperankan. Monolog tersebut selalu menjelaskan nama, pangkat, kegagahan diri, serta tugas dan kewajibannya masing-masing.
2.      Bahasa
Bahasa dalam teater Mamanda digunakan sebagai alat komunikasi untuk melakukan dialog, sehingga terjadi apa yang disebut dengan alur cerita. Ada dua macam penggunaan bahasa dalam pertunjukan Mamanda, yaitu:
Bahasa di dalam sidang kesultanan
Dialog dalam sidang ini biasanya menggunakan bahasa Melayu dengan dialek dan struktur bahasa Belanda. Dipergunakannya dialek dan struktur bahasa Belanda karena Mamanda lahir pada masa penjajahan Belanda.
Bahasa di luar sidang kesultanan
Di luar sidang kesultanan biasanya yang digunakan adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar merupakan perpaduan antara bahasa Melayu dengan bahasa Jawa Kuno.
3.      Tata Busana
Busana yang digunakan dalam pertunjukan Mamanda adalah busana suku Banjar. Busana ini terdiri dari busana adat, busana kebesaran, dan busana sehari-hari golongan bangsawan atau sultan-sultan, orang besar, orang terkemuka, dan rakyat jelata, yaitu sebagai berikut:
Laung (ikat kepala).
Kamban naga balimbur.
Seluar singkat berliris tepi.
Sabuk, yaitu berupa kain yang ditenun dan bersulam emas, seperti sabuk ukal, sabuk miring, dan sabuk panjang di atas lutut.
Baju, yang terdiri dari baju dalam dan baju luar yang diberi sulam benang emas. Baju untuk pemain laki-laki dan pemain perempuan dibedakan. Pemain perempuan biasanya mengenakan baju kurung dengan ketentuan bahwa pada bagian dadanya tidak terbelah, pada bagian lehernya diberi lubang, panjangnya hingga lutut, dan juga mengenakan sarung tangan kecil. Pemain perempuan juga mengenakan kebaya panjang, dengan ketentuan ada sulam benang emas pada pinggirnya, dan pada ujung lengannya disusun atau dipasang manik-manik sebanyak tiga atau lima buah.
Di samping itu, juga dipergunakan perhiasan Banjar, seperti:
Cucuk baju: pancar matahari, bulan saliris, dan bulu ayam yang dibuat dari emas dan perak.
Gelang: gelang kelana, gelang jepon, gelang marjan, dan gelang rantai.
Cucuk galing: daun, kembang sisir, dan kembang goyang.
Kalung atau rantai, misalnya berupa kalung cekak, kalung madapun, kalung marjan, dan tabu-tabu karawang.
Hiasan galung: kembang goyang dan untaian kembang melati.
Cincin: cincin agar mayang, cincin batu, dan lain sebagainya.
Rawing: rawing bulus, baitan, kili-kili, dan bonil berumbai.
Secara khusus, berikut ini dijelaskan ciri-ciri pakaian khas Banjar yang digunakan oleh para pemainnya, yaitu sebagai berikut:
Sultan
Sultan mengenakan seluar bersirit tepi, yaitu baju yang disulam dengan manik-manik. Di bagian tengah tutup kepala dihiasi dengan bulu burung putih sebagai mahkota sultan.
Perdana Menteri
Busana yang digunakan perdana menteri hampir sama dengan busana sultan. Hanya saja, perdana menteri tidak menggunakan mahkota, bahkan kadang tidak menggunakan tutup kepala sama sekali.
Wazir
Wazir biasanya mengenakan pakaian dalam yang lebih panjang dari pakaian luarnya. Ia mengenakan penutup kepala yang tidak bersegi, alias bulat.
Panglima Perang
Panglima perang mengenakan baju bermanik-manik, yang dilengkapi dengan senjata pedang. Di bahunya diselendangkan teratai yang terbuat dari benang emas. Tutup kepalanya berupa laung, bahkan kadang mengenakan topi polisi saja.
Harapan I dan Harapan II
Harapan I dan harapan II mengenakan baju dalam dan baju luar yang mirip dengan baju koboi, namun dengan ada sedikit manik-maniknya. Mereka berdua menggunakan senjata dan penutup kepala.
Putri
Putri mengenakan kebaya atau kadang baju kurung yang dilengkapi dengan mahkota di kepalanya.
Raja Jin
Raja jin biasanya mengenakan topeng. Jika tidak ada, ia juga bisa membedaki wajahnya dengan arang atau kapur yang dicampur denga pewarna merah kesumba.
Penyamun
Penyamun mengenakan sebuah topi yang mirip dengan topi dalam pementasan teater di Barat. Di samping itu, ia juga mengenakan kacamata berwarna hitam.
Anak Muda
Anak muda mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu warna hitam.
4.      Tata Cara Pementasan
Pementasan teater rakyat Mamanda sebenarnya sangat sederhana dan sifatnya spontan saja. Alat perlengkapan yang digunakan pun juga sederhana, yang penting disesuaikan dengan tempatnya. Soal tempat bisa dilakukan di mana saja, asalkan ada panggung pementasan dan ada tempat duduk untuk para penontonnya. Tidak ada tempat duduk pun bisa jadi, asalkan ada suatu sudut ruang yang bisa dijadikan sebagai tempat pementasan.
Alat perlengkapan yang digunakan biasanya hanya berupa meja dan kursi, yang disusun rapi dan disesuaikan dengan bagaimana isi atau cerita pertunjukannya. Kadang ada sekat yang memisahkan antara panggung dan tempat duduk penonton, namun kadang pula tidak ada sekat sama sekali.
Struktur atau urutan pementasannya biasanya dibuka dengan adanya bunyi-bunyian yang berfungsi sebagai pemberitahuan kepada penonton bahwa pertunjukan akan dimulai. Pertunjukan di awal biasanya berupa acara perkenalan dengan nyanyian dan tarian. Setelah itu lakon baru dipertunjukkan. Proses penyajian lakon dilakukan secara berurutan yang disesuaikan dengan jalan cerita. Penyajiannya tidak hanya berupa dialog dan laku, namun juga diringi dengan tarian dan nyanyian. Tidak jarang cara penyajiannya dibungkus dengan lawakan dan lelucon yang biasanya muncul secara spontan sebagai bentuk kreativitas para pemainnya sendiri. 
5.      Sumber Cerita
Tipe cerita Mamanda biasanya berupa cerita sejarah, romantis, kritik, sosial, dan penerangan. Inspirasi dalam penulisan skenario cerita Mamanda biasanya disarikan melalui hikayat syair, kisah 1001 malam, buku-buku roman, buku-buku sejarah, cerita rakyat, dan berbagai problematika kehidupan masyarakat. Melalui sumber-sumber tersebut, cerita dikemas menjadi kisah hitam-putih, yang memberikan pesan kepada masyarakat atau penontonnya untuk dapat membedakan mana kebaikan dan mana kejahatan. Sehingga, masyarakat bisa mendapatkan pemahaman yang tuntas tentang isi ceritanya, termasuk pesan baik yang ada di dalamnya.
6.       Musik Pengiring
Pementasan teater Mamanda diringi dengan musik dan nyanyian. Musik pengiringnya bisa berupa pantun, syair, hikayat, dan dialog tertentu yang disampaikan dengan cara dilagukan. Lagu-lagu yang sering dinyanyikan dalam pementasan Mamanda adalah:
Lagu Dua Harapan
Lagu Dua Raja
Lagu Dua Gandut
Lagu Raja Sarik
Lagu Tarima Kasih (Sultan)
Lagu Baladun
Lagu Mambujuk
Lagu Danding
Lagu Nasib
Lagu Tirik
Lagu Japen
Lagu Mandung-mandungan
Lagu Stambul.
3. Nilai Budaya
Seni pertunjukan (teater) rakyat Mamanda tidak hanya semata-mata hiburan saja. Ada sejumlah nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana pada umumnya, teater ini mencerminkan dan menyoal kehidupan masyarakat. Menurut Hermansyah (2007), teater rakyat berfungsi bukan saja sebagai media ekspresi diri para seniman teater ataupun sebagai tempat hiburan bagi rakyat yang memerlukannya, melainkan juga sebagai alat pendidikan bagi masyarakat di lingkungan sekitar. Dengan demikian, Mamanda juga dapat berfungsi sebagai media pendidikan yang sangat berguna bagi masyarakat umum.
Cerita-cerita yang disajikan dalam pertunjukan Mamanda selalu berisi tentang masalah-masalah dalam hidup umat manusia. Dari cerita-cerita tersebut, kita dapat mengambil manfaat atau hikmah, yaitu bagaimana kita mengenal sejarah kehidupan ini dan bagaimana kita mengambil contoh kearifan hidup yang baik. Bahkan, cerita-cerita tersebut juga dapat mengungkapkan alam pikiran masyarakat dan adat-istiadat lingkungannya. Artinya, melalui pertunjukan kesenian ini, di samping dapat merasakan keindahan rasa seninya, para penontonnya juga diajak untuk memahami pengalaman-pengalaman dan sugesti-sugesti yang tersajikan bahwa segala bentuk perilaku yang jahat, tidak baik, dan tidak jujur, pasti akan dikalahkan oleh kebenaran. Apa yang tersajikan dalam teater Mamanda biasanya sering dijadikan sebagai panutan oleh masyarakat dalam kehidupannya.
Teater Mamanda juga berfungsi sebagai media kritik sosial. Pemain-pemain Mamanda sering melontarkan kritik dan sindiran perihal kepincangan yang terjadi di masyarakat. Tentunya, kesenian ini merupakan media yang sangat menarik untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Dengan kata lain, kesenian Mamanda bisa berfungsi sebagai media demokratisasi yang dipadukan dengan nilai-nilai budaya masyarakat.  
4. Mamanda di Tembilahan
Teater rakyat Mamanda juga terkenal di Kecamatan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Bagaimana kesenian pertunjukan Mamanda yang awalnya berasal dari Kalimantan Selatan itu akhirnya dapat memasyarakat di daerah Tembilahan? Hal itu terjadi karena pada akhir abad ke-19 ada sebagian masyarakat Suku Banjar dari Kalimantan Selatan yang menjadi pendatang baru di wilayah Tembilahan, Indragiri Hilir.
Kehadiran Suku Banjar di Tembilahan tidak terjadi begitu saja yang tanpa disebabkan adanya unsur manusia dan budayanya. Proses eksodus masyarakat Suku Banjar ke Tembilahan dilatarbelakangi oleh situasi dan masalah yang terjadi.   
Suku Banjar yang menetap di Kabupaten Indragiri Hilir terdiri dari sebelas anak suku, yaitu: Banjar Keluak, Banjar Amuntai, Banjarnegara, Banjar Kandangan, Banjar Barabai, Banjar Kuala, Banjarmasin, Banjar Pamengkeh, Banjar Martapura, Banjar Alabio, dan Banjar Rantau. Anak suku Banjar Keluak, Banjar Amuntai, dan Banjar Kandangan merupakan anak suku mayoritas yang mendiami Indragiri Hilir. Perpindahan masyarakat Suku Banjar tersebut tentunya juga dibarengi dengan dibawanya kesenian Mamanda yang asalnya dari Kalimantan Selatan yang kemudian dikembangkan di Tembilahan.
Para perantau Suku Banjar yang pertama telah meninggalkan daerah asalnya (Kalimantan Selatan) sekitar tahun 1859. Perjalanan mereka hingga sampai di Tembilahan memakan waktu yang sangat panjang. Apa motivasi yang melatarbelakangi proses eksodus tersebut? Mereka ternyata sedang dalam tekanan dari kolonialisme Belanda. Apalagi, pada tahun 1859, Belanda telah menguasai Kerajaan Banjarmasin. Dampaknya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem kerja yang disebut irakan, yaitu kerja paksa yang tidak dapat diupahkan atau diwakilkan kepada orang lain. Karena tidak ingin ditindas oleh penjajah Belanda, banyak masyarakat di sana yang kemudian melakukan eksodus ke daerah lain, terutama ke Tembilahan.
Mengapa Tembilahan kemudian jadi pilihan tempat eksodus mereka? Pada awal mulanya, diperkirakan mereka mendarat terlebih dahulu di Malaysia dan Singapura. Berdasarkan Perjanjian London tahun 1824, kedua wilayah tersebut resmi berada dalam kekuasaan Inggris. Mereka berpandangan bahwa lebih baik hidup dalam kondisi penjajahan Inggris daripada penjajahan Belanda yang dikenal sangat tidak manusiawi. Politik penjajahan yang dilakukan Inggris lebih lunak dibandingkan dengan Belanda, sehingga mereka lebih dapat merasakan kebebasan. Namun, mereka justru merasakan kehidupan yang tidak enak di sana dan memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ke daerah lain, yaitu ke Indragiri Hilir. Pada tahun 1885 M, mereka tiba di sana. Wilayah Perigi Raja merupakan tempat singgah pertama mereka.
Salah satu suku di Tembilahan, Arbain, sebelum tahun 1950 M (diprediksikan antara tahun 1947-1949) pernah mendirikan Perkumpulan Mamanda Parit Empat Belas. Pada tahun 1950 M, Encik Arbain menyerahkan kepemimpinan Mamanda Parit Empat Belas kepada Encik Usman Ancau. Pada masa Encik Usman Ancau, Mamanda di Tembilahan berkembang pesat. Pada masa itu, sumber cerita Mamanda masih berasal dari sastra lama, seperti dari hikayat dan syair. Pada tahun 1960-an, mulai dibuat cerita sendiri yang sumbernya didasarkan pada perkembangan kehidupan masyarakat ketika itu. Alat-alat musik tradisonal yang biasa digunakan digabungkan dengan alat-alat musik modern, seperti biola, gitar, dan akordion.
Ketika terjadi peristiwa 30 S/PKI/1965, aktivitas kesenian mereka terpaksa harus terhenti. Pada tahun 1967 M, aktivitas Mamanda Parit Empat Belas diaktifkan kembali oleh Encik Abdul Hamid. Sejak masa itu, di Tembilahan juga berdiri 12 perkumpulan Mamanda. Namun demikian, lambat-laun perkumpulan-perkumpulan tersebut menghilang. Hingga kini, perkumpulan yang masih bertahan adalah Perkumpulan Mamanda Parit Empat Belas pimpinan Encik Ardani dan Perkumpulan Mamanda Pulau Palas.

4.      Wayang Kulit Banjar
Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan , telah mengenal pertunjukan wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV. Pernyataan ini diperkuat karena pada kisaran tahun 1300 sampai dengan 1400, dimana Kerajaan Majapahit telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan (Tjilik Riwut, 1993), dan membawa serta menyebarkan pengaruh agama Hindu dengan jalan pertunjukan wayang kulit.
Konon pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Andayaningrat membawa serta seorang dalang wayang kulit bernama Raden Sakar Sungsang lengkap dengan pengrawitnya, pegelaran langsung ( sesuai pakem tradisi Jawa) yang dimainkannya kurang dapat dinikmati oleh masyarakat Banjar, karena lebih banyak menggunakan repertoar dan ideom-ideom jawa, yang sulit untuk dimengerti masyarakat setempat.
Pada saat memudarnya kerajaan Majapahit dan mulai berdirinya kerajaan Islam (1526 M), pertunjukan wayang kulit mulai diadaptasi dengan muatan-muatan lokal yang dipelopori oleh Datuk Toya, penyesuaian itu terus berlangsung sampai abad ke-XVI, perlahan-lahan wayang kulit itu berubah, dan sesuai dengan citra rasa dan estetika masyarakat Banjar.
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni pertunjukan yang berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk, musik/gamelan pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun tokoh-tokoh wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan dari tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya gunungan/kayon, Batara Narada, Arjunawijaya, jambu Leta Petruk, Sarawita/Bilung, Subali, R.Hanoman,Prabu Rama, Kedakit Klawu atau Raksasa dan lainnya.
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan wayang kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar "lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton , karena dibatasi oleh layar.
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua kitab kuno yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Selain dari kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering pula menampilkan cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut lakon Carang adan dalam perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona masyarakat Banjar. Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga berkembang pertunjukan " Wayang Sampir" , nanggap wayang sampir untuk suatu hajat tertentu disebut manyampir, merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya diselenggarakan dalam bentuk pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan pada kisaran dua jam dan kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.

Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya diselenggarakan pada kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari besar nasional, ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat pertunjukan di tanah lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung penonton, yang menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai keinginannya. Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung, lengkap dengan layar dan alat penerangan "blencong" , merupakan lampu dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak kelapa. Pada saat wayang kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut dipasang di belakang layar, sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit tepat pada layar . Di sisi kiri dan kanan dalang dipasang barisan wayang kulit, sementara pada penabuh gamelan duduk di belakang dalang sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki tatacara tertentu. Mula-mula diserahkan piduduk (semacam sesajen) kepada guru dalang untuk belajar. Bila murid sudah mengetahui pakem, tahu tentang tembang, mengetahui tentang gamelan maka ia batamat dengan jalan upacara mandi yang disebut badudus kemudian melakukan upacara pernapasan yang disebut bajumbang. Dalam kondisi ini ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu mengucapkan Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan menyarung diri (menitis) dengan Arjuna sebagai dalang sejati.
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni pertunjukan yang berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang membedakannya dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk, musik/gamelan pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun tokoh-tokoh wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan dari tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya gunungan/kayon, Batara Narada, Arjunawijaya, jambu Leta Petruk, Sarawita/Bilung, Subali, R.Hanoman,Prabu Rama, Kedakit Klawu atau Raksasa dan lainnya.
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya adalah kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang dibudidayakan, maka bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari kulit sapi bahkan adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk dan fostur wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan wayang kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar "lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton , karena dibatasi oleh layar.
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua kitab kuno yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Selain dari kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering pula menampilkan cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut lakon Carang adan dalam perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona masyarakat Banjar. Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga berkembang pertunjukan " Wayang Sampir" , nanggap wayang sampir untuk suatu hajat tertentu disebut manyampir, merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya diselenggarakan dalam bentuk pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan pada kisaran dua jam dan kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya diselenggarakan pada kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari besar nasional, ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat pertunjukan di tanah lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung penonton, yang menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai keinginannya. Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung, lengkap dengan layar dan alat penerangan "blencong" , merupakan lampu dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak kelapa. Pada saat wayang kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut dipasang di belakang layar, sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit tepat pada layar . Di sisi kiri dan kanan dalang dipasang barisan wayang kulit, sementara pada penabuh gamelan duduk di belakang dalang sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki tatacara tertentu. Mula-mula diserahkan piduduk (semacam sesajen) kepada guru dalang untuk belajar. Bila murid sudah mengetahui pakem, tahu tentang tembang, mengetahui tentang gamelan maka ia batamat dengan jalan upacara mandi yang disebut badudus kemudian melakukan upacara pernapasan yang disebut bajumbang. Dalam kondisi ini ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu mengucapkan Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan menyarung diri (menitis) dengan Arjuna sebagai dalang sejati.

5.      Wayang Gong
Wayang Gong adalah seni pertunjukan sejenis wayang orang. Pertunjukan ini mengangkat cerita dari pakem Ramayana versi Banjar. Wayang ini dimainkan dengan pengolahan vokal pemain dan ditambah basik tari dalam lakon yang terdiri dari beberapa tilisasi. Tak hanya itu, pemain diiringi musik gamelan, elemen dramatik dan kating tari yang diiringi bunyi tambahan seperti ketopong yang membuatnya makin khas. Para pemain dirias sebagaimana layaknya tokoh yang ada di dalam kisah Ramayana.
Menurut pakar Wayang Gong Banjar, Zulfansyah Bondan, kesenian ini di era 1960 – 1970an mendapat respon yang bagus dari generasi muda saat itu, namun dalam tiga dasawarsa terakhir yakni sekitar tahun 2000an kesenian ini mengalami kemunduran dan nyaris punah. Dikatakan nyaris punah karena kesenian ini sudah jarang dimainkan. Salah satu kesenian tertua di Kalimantan Selatan ini kini hanya menunggu kepunahannya saja karena kelompok-kelompok yang memainkan kesenian ini sudah tak banyak lagi.
Dulu, kesenian ini sering dimainkan saat acara adat dan seni pertunjukan sosial kemasyarakatan seperti Mawlid Nabi, saprah amal, hajatan hingga nazar pasca panen padi. Namun sekarang sudah jarang dimainkan.
Beruntung masih ada salah satu sanggar seni yang masih eksis memainkan kesenian ini walaupun insidential. Sanggar seni Ading Bastari, Barikin (HST) yang di pimpin A.W. Syarbaini lah yang membuat kesenian ini masih bertahan, walaupun dalam kondisi yang tak memungkinkan.
Dulu wayang gong dimainkan semalaman suntuk, sama halnya dengan wayang kulit banjar. Setiap lakon atau tokoh biasanya disertai dengan menambang atau nembang yang dibawakan oleh sinden. Sekarang agar tidak ditinggal oleh para penontonnya, permainan dipersingkat hingga sekitar 3 - 4 jam saja. Pada Wayang Gong, sekitar 10 orang yang memainkan alat musik tradisional, yang terdiri dari babun, gong besar dan kecil, sarun besar dan kecil, kenong dan lima alat.
Pada saat memulai pertunjukan, terlebih dahulu dilakukan mamucukani, yakni tiga dalang membuka pagelaran untuk menyampaikan cerita apa yang akan dimainkan. Layaknya seperti sinetron di televisi, dari pemain utama hingga pemain pendukung disampaikan lebih dahulu kepada penonton.
Saat ini hanya sanggar seni Ading Bastari yang memainkan kesenian wayang gong ini, karena saat ini nyaris tidak ada lagi sanggar seni lain yang memainkan salah satu kesenian tertua ini. Kalaupun ada, hanya dilakukan dengan cara ”bon”. Artinya para pemain diambil dari berbagai kelompok seni daerah dengan sistem cabutan. Misalnya mengambil pemain dari kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tapin.

6.      Musik Panting
Pada awalnya musik Panting berasal dari daerah Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang berbentuk seperti gambus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik Panting akan lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada musik Panting yang terkenal alat musiknya dan yang sangat berperan adalah Panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang yang pertama kali memberi nama sebagai musik Panting adalah A. Sarbaini. Dan sampai sekarang ini musik Panting terkenal sebagai musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Pada umumnya orang yang memainkan musik Panting adalah masyarakat Banjar. Tokoh yang paling terkenal sebagai pemain Panting adalah A. Sarbaini. Dan ada juga grup-grup musik Panting yang lain. Tetapi sekarang ini seiring dengan adanya perkembangan zaman grup musik Panting menjadi semakin sedikit bahkan jarang ditemui.
Alat-alat musik Panting terdiri dari :
Panting, alat musik yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi lebih kecil dan memiliki senar. Panting dimainkan dengan cara dipetik.
Babun, alat musik yang terbuat dari kayu berbentuk bulat, ditengahnya terdapat lubang, dan di sisi kanan dan kirinya dilapisi dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan dengan cara dipukul.
Gong, biasanya terbuat dari aluminium berbentuk bulat dan ditengahnya terdapat benjolan berbentuk bulat. Gong dimainkan dengan cara dipukul.
Biola, sejenis alat gesek.
Suling bambu, dimainkan dengan cara ditiup.
Ketipak, bentuknya mirip tarbang tetapi ukurannya lebih kecil, dan kedua sisinya dilapisi dengan kulit.
Tamburin, alat musik pukul yang terbuat dari logam tipis dan biasanya masyarakat Banjar menyebut tamburin dengan nama guguncai.
Menurut cara penyajiannya Panting termasuk jenis musik ansambel campuran. Karena terdiri dari berbagai jenis alat musik. Dalam pertunjukan musik Panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3 buah dan ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga dengan nama japin apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik panting disajikan dengan lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun. Pantun tersebut berisi nasihat ataupun pantun petuah, dan pantun jenaka. Lagu yang dinyanyikan monotor, yang artinya musik tersebut dinyanyikan tanpa ada reff. Pemain musik Panting memainkan musik tersebut dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila, sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para pemain musik Panting pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang laki-laki mengenakan peci sebagai tutup kepala sedangkan pemain perempuan menggunakan kerudung.
Musik Panting mempunyai fungsi sebagai :
Sebagai hiburan, karena musiknya dan syair-syairnya yang kadang-kadang jenaka dan dapat menghibur orang banyak. Oleh karena itu, musik panting sering digunakan pada acara perkawinan.
Sebagai sarana pendidikan, karena di dalam musik Panting syainya berisi tentang nasihat-nasihat dan petuah.
Sebagai musik yang memiliki nilai-nilai agama, karena musik-musiknya mengandung unsur-unsur agama.
A.    Pakaian Adat Kalimantan Selatan
1.      Asal Usul
Suku banjar di Kalimantan Selatan terdiri dari 3 subtenis berbeda, yakni Pahuluan, Batang Banyu, dan Kuala. Ketiga subtenis ini disebut dengan orang Banua dan dikenal memiliki kreasi kebudayaan yang unik dan penuh makna, salah satunya tercermin dalam buasana adat pengantin. Baik di kampung maupun di kota, busana adat pengantin Banjar masih digunakan dalam perhelatan pernikahan mereka.Meskipun busana adat tersebut telah mengalami penambahan mode dan assesoris, namun realitas ini mencerminkan bahwa orang banjar masih peduli dalam menjaga tradisi leluhur mereka.
Menurut sejarahnya, secara umum busana adat pengantin Banjar terdiri dari tiga jenis, yaitu Bagajah Gamulung Baular lulut, Baamar Galung Pancaran Matahari, dan Babajukun Galung Pacinan. Akan tetapi, secara khusus, sebagian orang menyebut ada empat jenis, yaitu dengan tambahan Babaju Kubaya Panjang. Busana jenis keempat ini merupakan perkembangan busana adat pengantin Banjar di era modern dan biasanya dengan tambahan jilbab untuk pengantin perempuannya.
Ketiga jenis busana adat pengantin ini memiliki asal usul yang berbeda jauh, baik dari sisi wujud assesoris, warna, tata cara pemakaian, maupun makna simbolnya. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan terciptanya ketiga busana tersebut. Terlepas dari kontroversi yang ada, perbedaan perbedaan ini menunjukkan bahwa leluhur Banjar memiliki daa cipta yang kaya. Busana adat pengantin Banjar menjadi ciri identitas kebudayaan orang Banjar yang berkepribadian terbuka terhadap perkembangan zaman.
Busana adat pengantin jenis Bagajah Gamuling Baular Lulut menurut sejarah diciptakan leluhur Banjar sekitar abad ke 15-16 M dan dianggap sebagai busana adat pengantin yang pertama. Busana adat jenis ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu yang tercermin dari pengantin laki-laki yang hanya bertelanjang dada. Busana jenis yang sama juga dapat dilihat dari daerah Jawa, Bali, Dayak, atau Lombok. Dalam sejarahnya, daerah-daerah tersebut juga mendapatkan pengaruh kebudayaan Hindu.
Berbeda dengan jenis yang pertama, busana adat pengantin jenis Baamar Galung Pancaran Matahari dipercaya telah diciptakan oleh leluhur pada abad ke 17-18 M. Busana pengantin jenis ini dipercaya sebagai busana Banjar kedua yang dipengaruhi kebudayaan Hindu dan Islam. Hal ini dikarenakan pada abad tersebut Islam mulai masuk ke wilayah Banjar.
Sementara itu, busana adat pengantin jenis Babakun Galung Pacinan dipercaya telah tercipta pada abad ke 19 M. Busana jenis ketiga ini dipengaruhi oleh budaya Arab dan Tiongkok. Hal ini terlihat dari wujud busana dan nama Pacinan. Pada abad tersebut, suku Arab dan Cina banyak bermukim di Banjar dan berbaur dengan masyarakat asli Banjar. Dalam kehidupan bermasyarakat terjadi akulturasi perilaku diantara sesama penduduk Banjar.
Dari semua jenis busana adat pengantin Banjar, jenis Baamar Galung Pancaran Matahari adalah yang paling populer dan digemari masyarakat karena wujudnya tampak mewah dan bewibawa jika dipakai, apalagi saat ini sudah dimodifikasi dengan assesoris modern, sepert mahkota yang dibuat mewah. Meskipun demikian, sebuah keluarga Banjar yang akan menggelar pernikahan akan memilih salah satu dari tiga jenis busana tersebut.
Pemilihan busana biasanya didasarkan pada kesukaan, biaya yang mereka mampu, serta pola pikir mereka (ada yang sederhana dan ada yang mau mengikuti adat seluruhnya). Menurut para perias, pemilihan ini dapat terjadi karena perbedaan selera masyarakat. Selain itu, hal ini justru memudahkan orang Banjar yang ingin menikah, karena mereka memiliki banyak pilihan busana adat yang bagus dan bersahaja.
2.      Jenis dan Bentuk Busana
a.       Jenis Bagajah Gamuling Baular Lulut
1). Pengantin laki-laki
Busana jenis ini untuk pengantin laki-laki terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota terbuat dari logam bundar berbentuk dua ekor ular lidi yang melingkar dan kepalanya saling bertemu  
Baju poko berupa kemeja lengan pendek tanpa kerah. Baju ini merupakan modifikasi sekarang, karena aslinya pengantin laki-laki hanya bertelanjang dada
Selawar (celana panjang), tingginya lebih kurang 10 cm di atas mata kaki dengan bentuk kecil bagian bawah, lalu diberi hiasan motif pucuk rebung dari amnik-manik dan mote-mote
Tapih (sabuk pendek) bermotif khas binatang halilipan dalam posisi merayap ke bawah berhias sulaman benang emas dan manik-manik atau mote
Warna busana kuning cerah, merah atau hijau
Hiasan berupa kalung samban, kilat bahu garuda mungkur paksi sedang melayang, pending atau ikat pinggang emas dengan kepala motif gula kelapa, dan keris pusaka khas Banjar berbentuk sempana
Hiasan bunga-bunga dari daun nyiur berbentuk halilipan, karang jagung berbentuk belalai gajah yang dipasang di badan bagian depan, mawar dan melati kuncup yang diuntai, dan bunga keris.
2). Pengantin perempuan
Busana jenis ini untuk pengantin perempuan terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota terbuat dari logam bundar berbentuk dua ekor ular lidi yang melingkar dan kepalanya saling bertemu. Pada bagian depan diletakkan amar atau mahkota berbentuk kepala ular naga berebut kumala. Sementara itu, pada bagian ekor ular, diletakkan hiasan garuda mungkur paksi ketika melayang. Pada sekeliling mahkota, diberi hiasan kembang goyang yang berjumlah ganjil
Sanggul dengan rambut yang dihias kembang goyang dan untaian kuncup kembang melati
Udat atau kemben sebagai penutup dada yang dihias manik-manik. Namun, saat ini sudah dimodifikasi dengan torso (penutup kepala yang sudah jadi)
Selendang sebagai penutup punggung bagian belakang dan dada
Kida-kida atau hiasan berbentuk bulat segilima penutup dada
Kayu apu, kain untuk ikat pinggang
Tapih berupa sarung panjang dengan motif khas halilipan berhias sulaman benang emas dan manik-manik
Hiasan kembang goyang, bonel (anting beruntai panjang), kalung kebun raja, kalung samban pedaka, pending (ikat pinggang), gelang tangan, cincin permata, gelang kaki, dan selop tutup (pada mulanya tanpa kaki)
Bunga berupa karang jagung, anyaman janur, mawar dan melati wungkul, malai depan (kalung dari mawar), bunga tangan berupa hiasan bunga dan daun sirih, untaian melati, mawar, dan cempaka.

b. Jenis Baamar Galung Pancaran Matahari
1). Pengantin laki-laki
Busana jenis ini untuk pengantin laki-laki terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Laung atau destar
Baju dalam atau kemeja putih lengan panjang berenda
Jas buka tanpa kancing
Celana panjang
Sabuk, sarung, atau tapih pendek bermotif khas binatang halilipan yang disulam benang emas
Tali wenang yaitu kain berwarna kuning sebagai ikat pinggang di atas sabuk
Selop tutup berhias sulaman benang emas dan manik-manik
Kembang untuk kalung dari mawar dan kembang diuntai untuk hiasan keris
Hiasan berupa kalung emas pancaran matahari, keris pusaka khas Banjar berbentuk sempana, gelang kaki berbentuk akar tatau, dan cincin permata.
2). Pengantin perempuan
Busana jenis ini untuk pengantin perempuan terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota amar galung pancaran matahari berupa permata yang tengahnya bermotif buah nanas dan matahari
Sanggul berbentuk bulan sabit
Baju poko lengan pendek tanpa kerah dan pada ujung lengan dihias manik-manik serta rumbai-rumbai
Kida-kida penutup dada berbentuk bulat segilima
Kayu apu sabuk selebar lebih kurang 15-20 cm yang berfungsi menutup baju poko dan sarung  
Tapih atau sarung panjang motif khas binatang halilipan
Hiasan berupa kembang goyang berumpun sebanyak 11-13 kuntum, sisir emas berbentuk melati dengan lima kelopak, anting beruntai panjang, kalung cikak, kalung kebun raja, kalung bentuk biji kurma, ikat pinggang emas, kilat bahu berbentuk garuda paksi, gelang tangan berbentuk kembang jepun, cincin berbentuk pagar mayang, gelang kaki, dan selop tutup bersulam benang emas
Bunga-bunga berupa karang jagung berjumlah ganjil, kalung dari bunga mawar dan melati yang sedang kuncup, daun sirih buah tangan yang terbuat dari daun sirih dan dihias dengan bunga mawar, janur, serta bunga kenanga yang diuntai.

c. Jenis Babajukun Galung Pacinan
1). Pengantin laki-laki
Busana jenis ini untuk pengantin laki-laki terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Kopyah alpe setinggi 15 cm berlilitkan surban dan dihias dengan untaian bunga melati yang kuncup
Baju gamis dan jubah
Selempang berupa kain panjang bersulam benang emas
Selop tutup bersulam benang emas
Hiasan kalung rantai dari emas, kalung permata yang dirajah ayat Al quran, dan cincin bermata satu dari zamrud.
Kembang tangan.
2). Pengantin perempuan
Busana jenis ini untuk pengantin perempuan terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota berbentuk setengah lingkaran bertahtakan permata
Sanggul galung pacinan berbentuk bulat
Kebaya lengan panjang berbentuk cheong sam dan berkerah shanghai, bersulam benang emas dengan motif bunga teratai. Kebaya dipasangkan dengan rok besar berhias sulaman motif Cina dengan taburan manik-manik
Hiasan berupa kembang goyang berumpun sebanyak sepuluh kuntum, tusuk konde berbentuk huruf Lam dengan permata batu mulia, tusuk bunga lima buah, tusuk konde berbentuk burung hong beruntai manik-manik 2-4 buah berhias permata, kalung kebun raja dari emas atau permata, kalung rantai panjang, anting-anting, gelang tangan permata, gelang kaki berbentuk belah rotan, cincin permata, dan sisir emas dua buah.
Bunga-bunga berupa karang jagung tiga buah, sisir melati lima buah, dan bunga tangan.

d. Jenis Babaju Kubaya Panjang
Jenis baju adat Kalimantan selatan yang disebut babaju kubaya panjang merupakan modifikasi dari baju adat Kalimantan Barat yang 3 diatas. Disebut dengan babaju kubaya panjang karena busana pengantin ini menggunakan kebaya panjang.

3.      Nilai Nilai
Keunikan dan keanggunan busana adat pengantin Banjar, Kalimantan Selatan, sarat akan nilai-nilai penting dalam kehidupan orang Banjar, antara lain:
Simbol. Nilai ini tampak dari beragam hiasan yang memenuhi tiga jenis busana adat pengantin Banjar. Simbol ular naga pada mahkota misalnya, dianggap orang Banjar sebagai simbol tingginya derajat pemakainya, karena naga dipercaya sebagai raja ular. Ular lidi menyimbolkan kecerdikan namun tetap rendah hati. Burung garuda paksi sedang terbang melayang menyimbolkan ketangkasan. Bunga mawar melambangkan keberanian, melati melambangkan kesucian, dan melati yang kuncup melambangkan bahwa pengantin perempuan masih gadis (perawan). Sementara itu, binatang halilipan melambangkan sifat rendah hati, jujur, tidak akan mengganggu orang lain kecuali jika diganggu lebih dahulu. Semua simbol-simbol ini dimaksudkan agar kedua mempelai (juga semua orang) mengambil maknanya lalu mengaplikasikan pada dirinya.
Seni. Nilai ini tercermin jelas dari wujud ketiga busana adat pengantin yang diciptakan begitu indah dan detil. Sebuah hasil karya yang indah, detil, dan terlihat mewah tentunya membutuhkan kreatifitas seni yang tinggi, tanpa itu semua, maka busana-busana tersebut tidak akan menjadi busana adat. Nilai seni ini juga terlihat dari beragam hiasan yang menempel pada busana, mahkota, dan ikat pinggang yang semuanya terlihat mewah dan semakin membuat elegan pemakainya. Pemakaian warna dan benang emas menjadikan busana-busana tersebut terlihat mahal dan megah.
Filosofis. Nilai ini terekam dari makna simbol yang terdapat pada ketiga jenis busana adat. Dari nilai inilah masyarakat Banjar meletakkan busana adat pengantin mereka sangat berharga sehingga mereka menggunakannya untuk perhelatan upacara pernikahan. Dalam konteks ini, nilai filosofis menjadi penguat dan pendorong masyarakat Banjar dengan hasil budaya leluhur mereka.
Pelestarian budaya. Sebagai sebuah hasil karya leluhur, maka menggunakan busana adat pengantin dalam setiap perhelatan pernikahan merupakan sebuah upaya nyata terhadap pelestarian budaya. Hal ini sepertinya telah dilakukan oleh para generasi muda Banjar yang peduli terhadap budaya mereka, yaitu dengan memodifikasi busana adat pengantin mereka namun tetap tidak meninggalkan unsur aslinya.
Identitas dan solidaritas sosial dan budaya. Busana adat pengantin Banjar adalah satu penanda identias kebudayaan Banjar. Dengan menggunakan busana adat dalam pernikahan, secara imajinatif menjadikan orang Banjar merasa memiliki identitas sosial dan budaya yang kuat dan berbeda dengan suku bangsa lain di negeri. Melalui imajinasi ini, jika sesama orang Banjar bertemu dalam sebuah acara kebudayaan atau pernikahan Banjar, maka akan menambah rasa solidaritas mereka antarsesama orang Banjar. Dalam konteks ini, busana adat telah menjadi media positif bagi persatuan dan kesatuan masyarakat. Hal ini tinggal menjadi tugas budayawan dan pemerintah Banjar untuk memanfaatkannya.
A.    Alat Musik Tradisional Kalimantan Selatan
1.      Kintung
Kintung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Provinsi Kalimantan Selatan. Alat musik kintung dipergunakan untuk mengiringi pertunjungan musik kintung. Adapun bentuk alat musik tradisional ini mirip dengan alat musik angklung / calung dari Jawa Barat, yaitu dari bambu dan dibunyikan dengan cara dipukul. Untuk mengatur bunyi tergantung pada rautan bagian atasnya hingga melebihi dari seperdua lingkaran bambu. Rautan itu makin ke atas semakin mengecil sebagai pegangannya. Sedang bagian bawahnya tetap seperti biasa. Panjangnya biasanya dua ruas, dan buku yang ada di bagian tengahnya (dalam) dibuang agar menghasilkan bunyi. Pengaturan bunyi biasanya tergantung pada rautan bagian atasnya. Semakin dibuang atasnya itu akan menimbulkan nada yang lebih tinggi.


2.      Kalang Kupak
Kalang Kupak adalah alat musik tradisional dari Kalimantan Selatan yang juga dibuat dari bambu, biasanya dari jenis bambu tamiang. Sama halnya dengan kintung, Kalang Kupak terdiri dari 8 ruas bambu yang masing-masing dipotong setengahnya dan meruncing di bagian ujung. Ruas-ruas bambu tersebut kemudian disatukan dengan serat rotan hingga bentuknya menyerupai calung dari Jawa Barat. Kalang Kupak berperan sebagai pembawa melodi, dimainkan bersama alat musik agung (gong), babun (gendang), lumba (gendang), dan kecapi untuk mengiringi upacara adat Balian, yaitu upacara keselamatan bagi kehidupan masyarakat setempat yang dilaksanakan setiap tahun dan untuk mengiringi tarian adat, seperti tari Gintor.

3.      Kurung-Kurung
Kurung-kurung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Alat musik Kurung - kurung ini terbuat dari kayu panjang dan dibawahnya terbuat dari bambu dan peralatan lainnya. Musik ini bisa mengeluarkan bunyi setelah dihentak-hentak dulu ke tanah dan setiap alat musik mengeluarkan bunyi berbeda satu sama lain, sehingga bila pemainnya ingin menciptakan irama, maka caranya menghentakan alat itu secara bergantian sesuai irama yang dikehendaki
4.      Bumbung
Alat musik bumbung dibuat dari bambu, merupakan alat musik tradisional Kalimantan Selatan. Bumbung sendiri berawal dari  bumbung “Bumbung lamang” (Beras ketan yang dibakar dalam bumbu) yang dimodifikasi menjadi alat musik diatonik, terdiri dari 7 nada dasar. Untuk membuat alat musik bumbung biasanya terbuat dari 2 ruas bambu.

5.      Kuriding/Guriding

Alat musik Kuridin adalah alat musik tradisional Kalimantan Selatan yang terbuat dari Bambu. Nama Penamaan Kuridin diberikan oleh Penduduk Hulu Sungai Tengah dan Desa Harakit Kabupaten Tapin. Lain lagi dengan penduduk Kelurahan Ulu Banteng Kecamatan Bakupai Kabupaten Barito Kuala, alat musik ini disebut Guriding.
Suku Banjar di Kalimantan Selatan memiliki alat musik tradisional yang unik dan sakral bernama guriding, karena perbedaan bahasa beberapa daerah menyebut kuriding. Unik karena alat musik ini berbentuk kecil namun dapat mengeluarkan bunyi yang nyaring, sedangkan sakral karena berlatarbelakang mitos kemunculan macan yang hingga sekarang masih dipercaya oleh masyarakat Banjar. Terlepas dari kontroversinya, guriding menjadi penanda budaya orang Banjar yang penting untuk dikaji dan dipelihara.

Menurut cerita masyarakat, guriding pada awalnya adalah milik seekor macan yang tinggal di hutan Kalimantan Selatan. Pada suatu hari, sang macan meminta anaknya untuk memainkan guriding. Namun, tiba-tiba ilat (alat getar) guriding tersebut patah dan menusuk tenggorokan sang anak hingga mati. Semenjak kejadian tersebut, sang macan menasehatkan kepada anak keturunannya agar tidak lagi membunyikan guriding (Mohammad Saperi Kadir, 1985/1986).    
Kadir (1985/1986) menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasar cerita di atas, dalam perkembangannya masyarakat Banjar meyakini bahwa guriding adalah alat ampuh untuk mengusir macan yang sering berkeliaran di kampung mereka. Bagi masyarakat yang tingggal di sekitar hutan dan persawahan, mereka selalu membunyikan guriding dan tidak jarang mereka juga menggantungkan atau meletakkannya di atas tempat tidur anak mereka. Menurut Tadjudin Noer Gani (2007), sebagian masyarakat juga meyakini bahwa untuk membunyikan guriding diperlukan sebuah nyanyian, selain sebagai pengiring juga sebagai mantra.
Orang Banjar memiliki kebudayaan yang kaya, namun terkadang mereka kesulitan untuk memeliharanya (Suriansyah Ideham dkk, 2005). Saat ini, guriding masih sering dibunyikan, khususnya oleh orang-orangtua Banjar sebagai alat hiburan di kala sendiri dan melepas lelah usai bekerja di kebun atau hutan. Beberapa keluarga bahkan masih menyimpan guriding di rumah-rumah mereka, meski tujuannya tidak untuk melindungi anak mereka dari ancaman macan. Mereka menganggap bahwa guriding adalah tradisi budaya yang perlu untuk dilestarikan, sambil mengajarkan kepada generasi muda untuk mencintai budaya leluhur.
2. Bentuk Guriding
Guriding atau kuriding memiliki bentuk yang kecil dan unik. Wujudnya terbagi dalam dua bagian, yaitu dalam (tidak rata) dan luar (rata). Bagian dalam adalah bagian yang ditempelkan ke mulut ketika dibunyikan, sebaliknya bagian luar adalah yang menghadap ke luar.
Guriding terbuat dari bambu atau kayu dan berbentuk empat persegi panjang yang kedua ujungnya dibuat bulat. Selain untuk memperindah, bentuk bulat ini ditujukan agar guriding tidak melukai mulut ketika dibunyikan. Pada badan guriding terdapat alat getar, yakni tali yang terbuat dari serat pohon kayu atau senar. Alat getar tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu sebelah kanan (ilat) dan kiri (butuh).    
Pada ujung kana dan kiri guriding terdapat lubang untuk meletakkan tali (tatarikan) yang terhubung dengan alat getar. Ketika tali tersebut ditarik, maka alat getar tersebut akan berbunyi, sambil ditempelkan pada mulut. Bunyi guriding akan terasa nyaring jika tali ditarik dengan ritme yang benar.
3. Bahan-bahan dan Alat-alat Pembuatan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat guriding cukup sederhana, yaitu meliputi bambu (paring); kayu bangaris; pelepah daun sirang; pelepah enau, tali atau senar untuk alat getar, tali untuk penarik, dan potongan bambu kecil untuk memudahkan ketika ditarik. Sementara itu, alat-alat yang digunakan untuk membuat guriding meliputi gergaji untuk memotong bambu atau kayu dan pisau kecil untuk menghaluskan bambu dan memotong tali serta melubangi.
4. Proses Pembuatan
Proses pembuatan guriding cukup sederhana. Langkah pertama adalah memilih bambu atau kayu yang agak tua agar guriding kuat dan tidak mudah patah. Selanjutnya bambu atau kayu dipotong sepanjang 15-20 cm dan dihaluskan dan dibuat ukuran tebal 0,5 cm dan lebar 2 cm. ukuran ini dianggap tepat - berdasar turun temurun- untuk menghasilkan guriding yang enak dipegang dan dimainkan. 
Bagian guriding selanjutnya dibagi dua, kanan dan kiri. Pada bagian kanan dipasang alat getar (ilat) dan bagian kiri dipasang alat getar (butuh). Bambu pada bagian ini dibuat agak tipis serta dibuat celah-celah kecil selebar 1 mm, tujuannya agar bunyi guriding lebih nyaring.
Pada ujung-ujung bambu atau kayu bersebelahan dengan letak alat getar, dibuat lubang selebar 0, 5 cm. Pada lubang tersebut diikatkan seutas tali yang dibentuk bulat untuk memudahkan saat menariknya.
5. Cara Memainkan
Cara memainkan guriding cukup mudah, namun untuk menghasilkan bunyi yang enak didengar, memerlukan latihan yang banyak. Atas dasar ini, sebagian orang menganggap guriding sebagai alat musik yang kecil bentuknya tapi sulit dimainkan.
Sebelum memainkan guriding, hal yang perlu diperhatikan adalah cara memegangnya. Pertama-pertama adalah jari manis tangan kiri dimasukkan ke lubang tali penarik yang ada di salah satu ujung guriding, lalu dipintal agar pendek dan lekat. Pada ujung ini juga, ibu jari menekan ke dalam dan telunjuk menekan ke luar. Sementara itu, pada ujung guriding yang satunya dipegang tangan kanan, yakni dengan mengikatkan jari telunjuk dan jari tengah pada kayu kecil penarik.
Langkah kedua adalah bagian guriding yang ditekan dengan ibu jari telunjuk tangan kiri dilekatkan di sebelah kiri mulut. Ujung ibu jari tangan kiri tepat berada di sisi mulut sebelah kiri dan guriding berada di antara bibir atas dan bawah. Sementara itu, tangan kanan memegang tali penarik (tatarikan) lalu diletakkan di bagian kanan wajah hingga sejajar dengan pipi sebelah kanan.
Setelah guriding berada pada posisi seperti di atas, maka untuk membunyikan  guriding adalah dengan menarik tali (tatarikan) yang dipegang tangan kanan. Tali ditarik dengan ritme tertentu (disentak) hingga tali bergetar dan selanjutnya  guriding akan berbunyi.
6.      Kalampat
Kalampat adalah alat musik tradisional dari Kalimantan Selatan, khususnya masyarakat daerah Labuhan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Kalampat adalah sejenis gendang berkepala tunggal. Badan gendang terbuat dari batang batung atau bambu tebal berdiamter besar. Kalampat dimainkan dengan cara dipukul menggunakan pemukul dari rotan. Kalampat dimainkan bersama dengan agung (gong) sebagai pengiring dalam upacara Bawanang (panen padi), Babalian (bahiaga atau upacara pengobatan yang bersifat magis). 
7.      Sarunai Banjar
Musik ini tergolong aerofon atau alat musik tiup, perkataan Sarunai atau Sarunai, yang diambil dari kata Surnai bahasa Persia. Surna dari bahasa Arab dan Sahnai dari bahasa india. Musik ini terbuat dari Bambu atau kayu seperti suling terompet namun pendek, terdiri dari 4 bagian yaitu mulut, sekar bibir, badan (batang) dan corong satu sama lainya bisa dilepas dan dipasang kembali. Serunai berfungsi sebagai alat musik pertunjukan pancak silat. Disuku Bukit/Dayak berpungsi sebagai pengiring musik upacara adat.
8.      Terbang Mahidin
Mahidin adalah salah satu pertunjukan seni di Kalimantan Selatan yang menggunakan alat musik tradisional terbang. Madihin sebagai suatu karya sastra lisan yang dipentaskan mempunyai fungsi sebagai penyajian estitis (tontonan) yang dinikmati penonton ( Syukrani,1994:6 ).
9.      Gamelan Banjar
Gamelan Banjar merupakan bentuk kesenian yang menggunakan beberapa alat musik tradisional. Gamelan Banjar sendiri sudah ada sejak jaman Kerajaan Negara Dipa pada abad ke-14 yang dibawa oleh Pangeran Suryanata ke Kalimantan Selatan bersamaan dengan kesenian Wayang Kulit Banjar dan senjata keris sebagai hadiah kerajaan Majapahit. Pada masa itu masyarakat Kalsel pada waktu itu dianjurkan untuk meniru budaya Jawa.
1.      babun
2.      gendang dua
3.      rebab
4.      gambang
5.      selentem
6.      ketuk
7.      dawu
8.      sarun 1
9.      sarun 2
10.  sarun 3
11.  seruling
12.  kanung
13.  kangsi
14.  gong besar
15.  gong kecil
Gamelan Banjar versi rakyatan, perangkat instrumennya :
1.      babun
2.      dawu
3.      sarun
4.      sarantam
5.      kanung
6.      kangsi
7.      gong besar
8.      gong kecil


B.     Senjata Tradisional Kalimantan Selatan
1.      Sungga
Sungga merupakan salah satu senjata yang digunakan oleh masyarakat pada Perang Banjar di daerah Benteng Gunung Madang, Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Senjata ini dipasang di bawah jembatan yang dibuat sebagai jebakan, sehingga apabila dilalui oleh musuh (tentara Belanda), maka jembatan tersebut akan runtuh dan musuh yang jatuh tertancap pada sungga tersebut.

2.      Mandau
Mandau adalah senjata tradisional suku dayak yang ada di Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan.

3.      Sarapang
Sarapang secara umum merupakan senjata trisula atau tombak bermata tiga. Namun di Kalimantan Selatan Sarapang berbentuk tombak dengan mata tombak 5 buah yaitu 4 buah disisi dan 1 buah dipusat / ditengah.

4.      Keris Banjar
Keris adalah merupakan senjata tradisional khas yang dibuat dari besi dan campuran logam. Panjang senjata keris ini sekitar 30 cm. Keris ini merupakan senjata yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia pada waktu lampau. Namun ukiran dan lekukan keris biasanya membedakan dari daerah mana keris tersebut berasal. Seperti halnya provinsi Kalimantan Selatan memiliki keris khas yang disebut dengan keris banjar.

5.      Parang
Parang juga merupakan senjata yang sangat umum ditemukan di Indonesia. Parang merupakan senjata tradisional yang dibuat dari besi dengan bentuk pipih dan salah satu bilah sisinya tajam. Biasanya gagang parang yang berfungsi sebagai pegangan pengguna dibuat dari kayu.

Sumber :




Sekian dulu ya teman-teman, semoga membantu:)













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sweet Lies - EXO

SWEET LIES Romanization Oh gakkeum jinsiriran geo Oh geojismalboda apeun geol Oh modu sangcheobatgin geopnaneun geol jinsireseo da gogaereul dollyeo jogeum wiheomhan jul almyeonseodo (So bitter) gamdanghal jasin eopsdago (geojismarirado) kkok geureohge haeseorado gyeote dul su issdamyeon I tell her Sweet lies sweet lies sweet lies sesangeseo gajang dalkomhan geojit baby I tell her Sweet lies sweet lies wonhaneun ge igeoramyeon da haejulge No no no no no baby don’t say u want no liar No no no no no baby don’t say u want no bad guy jinsiri geojisboda apaseo du soneuro gwireul makneun neo sangcheo jugi nado silheo (So bitter) ireol su bakken eopsneun geol (amuri haebwado) geuraeseo na ireohge tto hal su eopsi ttodasi So I tell her Sweet lies sweet lies sweet lies sesangeseo gajang dalkomhan geojit baby I tell her Sweet liet sweet lies wonhaneun ge igeoramyeon da haejulge saenggakboda swipge mameul juji anhneun na dalkomhan geojismallo neoreul nogyeo rike a hot cocoa i

Cara Mengcopy Blog yang Tidak Bisa Dicopy paste

Cara Mengcopy Blog yang Tidak Bisa Dicopy paste        Halo teman teman👐 sekarang aku akan kasih tahu gimana cara copy artikel dari blog yang tidak bisa dicopy paste...(tapi hanya untuk di chrome aja yaa)             Mungkin mereka yang tidak mengizinkan netizen untuk mencopy paste blognya memiliki tujuan agar artikel yang ada di blog nya tidak diduplikat/ diplagiat orang lain. Sebenernya sih mudah saja kalau anda ingin mengcopy blog yang mengaktifkan disable klik kanan, disable Ctrl+U, dan disable shortcut.  1. Buka   chrome://settings/      2. Setelah itu buka   chrome://settings/content 3. Klik javascript 4. Nonaktifkan javascript 5. Setelah itu, refresh (muat ulang) kembali blog yang tidak bisa dicopas tersebut 6. Yeaaay! bisa dicopy kan --> kalo nggak bisa itu mah DL:v 7. Jika sudah, jangan lupa aktifkan lagi javascript nya Semoga membantu:)