Budaya Kalimantan Selatan
Tari baksa tameng merupakan jenis tari klasik Banjar dengan menggunakan
taming/tameng (perisai).Dalam tarian ini sebuah perisai kecil yang dinamakan
taming, dan sebilah keris terhunus dipegang. Tarian ini dimulai dengan
perlahan-lahan dan dengan penuh hormat dan kemudian sedikit demi sedikit
menjadi lebih cepat dan lebih liar, seolah-olah menggambarkan suatu
pertarungan. Tari Baksa Tameng ditarikan oleh penari laki-laki, diiringi musik
tradisional atau gamelan dan lagu Parang Lima, Parang Capat. Penari Baksa
Tameng menggunakan pakaian tradisional yang menggambarkan seorang
ksatria/prajurit.
Tari Baksa Dadap merupakan tari klasik Banjar Kalimantan Selatan, tarian ini masih dipertunjukkan di keraton Banjar menurut laporan orang-orang Belanda yang mengunjungi keraton Banjar terakhir. Dalam mempersembahkan tarian ini para penari memegang busur dan anak panah yang dipanggil dadap. Mereka melompat dengan senjata ini, sambil mengankat sebelah kaki, bergerak dengan amat cepat, seolah-olah mereka terpaksa mempertahankan diri dari serangan yang datang dari semua sudut.
Tari Radap
Rahayu adalah tarian klasik yang berasal dari Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Tari Radap Rahayu ini bersifat sakral dan merupakan tarian untuk menyambut tamu
sebagai tanda penghormatan. Kata radap berasal dari beradap-adap yang memiliki
arti bersama-sama, berkelompok dan atau lebih dari satu. Rahayu memiliki arti
galuh wan bungas (perempuan yang cantik). Selain itu, Rahayu memiliki arti
kebahagian, kesenangan, kemakmuran.
Pada awalnya, tari Radap Rahayu adalah tarian yang memiliki fungsi sebagai penolak bala dan bersifat ritual bagi masyarakat Banjarmasin. Tari Radap Rahayu dilakukan pada upacara seperti kehamilan, perkawinan, dan kematian. Tari Radap Rahayu sebagai tari penolak bala dan tari meminta keselamatan berasal dari peristiwa di mana kapal Perabu Yaksa berisi patih Lambung Mangkurat yang pulang berkunjung dari kerajaan majapahit. Ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai barito, kapal ini kandas di tengah perjalanan. Perahu oleng dan nyaris terbalik. Situasi itu membuat patih Lambung Mangkurat memuja Bantam yaitu meminta pertolongan pada yang maha kuasa agar kapal diselamatkan. Tak lama, turun tujuh bidadari ke atas kapal kemudian mengadakan upacara beradap-adap. Akhirnya kapal selamat dan para bidadari kembali ke kayangan. Hal itu ditandai dengan gerakan awal dan akhir tarian Radap Rahayu yaitu gerak terbang layang. Kini tari Radap Rahayu lebih dilakukan saat acara-acara penyambutan tamu-tamu sebagai tanda penghormatan. Istilah permohonan kepada Tuhan adalah memuja bantam turun seorang bidadari yang mengadakan upacara beradap - adap diatas kapal. Setelah kapal terselamatkan bidadari tersebut kembali kekayangan dengan gerakan tarian radap Rahayu.
Tari kuda
gipang/gepang adalah sebuah seni tari dan budaya yang cukup dikenal luas
dikalangan masyarakat melayu Banjar.Tarian ini dipengaruhi oleh kebudayaan
etnis Jawa. Tari kuda gipang ditampilkan pada upacara perkawinan masyarakat
Banjar. Tari ini biasanya dilengkapi juga dengan diusungnya/bausung kedua
pengatin saat menuju pelaminan. Seni tari kuda gipang masih sering dimainkan
oleh masyarakat Banjar terutama di Kabupaten Tapin ( Rantau ), Hulu Sungai
Selatan (Kandangan), Hulu Sungai Tengah ( Barabai ), Hulu Sungai Utara (
Amuntai ),Dan juga Kabupaten banjar ( Martapura ).
Menurut cerita dahulu Tarian ini berasal dari Lambung Mangkurat yang datang ke Majapahit untuk bertemu dengan Gajah Mada ketika mau pulang di beri hadiah kuda, ketika dinaiki kudanya lumpuh, dengan kesaktiannya kudanya di kecilin dan di bawa pakai tangan untuk dinaikkan ke kapal.
Tari
Bagandut adalah merupakan tarian rakyat dari Kalimantan Selatan. Tari Bagandut
inin merupakan jenis tari tradisional berpasangan yang di masa lampau dan
merupakan tari yang menonjolkan erotisme penarinya mirip dengan tari tayub dan
tari ronggeng . Gandut artinya tledek (Jawa).
Tari Maayam
Tikar merupakan jenis tari khas dari Kabupaten Tapin yang menggambarkan remaja
putri dari daerah Margasari, Kabupaten Tapin yang sedang menganyam tikar dan
anyaman. Tari berdurasi sekitar 6 menit ini biasanya dibawakan oleh 10 orang
penari putri. Tari ini diciptakan oleh Muhammad Yusuf, Ketua Sanggar Tari Buana
Buluh Merindu, dari kota Rantau, ibukota Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan
Selatan
Tari Tandik
Balian, merupakan tarian tradisional yang berasal dari suku Dayak Warukin, yaitu
suku Maanyan yang terdapat didesa Warukin dan desa Haus, Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan. Suku Dayak Warukin (Tabalong-Kalsel) merupakan salah satu
subsuku Dayak Maanyan yang memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini
dibuat menjadi sebuah atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian.
12. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Topeng
Kata
Madihin berasal dari kata madah yang artinya adalah pujian (dalam wikipedia
disebutkan asal kata Madihin dari madah yang dalam bahasa Arab artinya
nasihat). Seni madihin merupakan salah satu bentuk sastra tradisi ( sastra
lisan ) oleh masyarakat Kal-sel dijadikan kesenian khas daerah, yang berisi
sair dan pantun yang dinyanyikan. Sarat dengan nasehat – nasehat yang
bermanfaat dan diselingi dengan humor yang segar. Serta selalu dapat mengikuti perkembangan
zaman dan situasi serta kondisi pada saat ditampilkan termasuk selera
penontonnya.
Masyarakat Kalimantan Selatan juga biasa menamakan jenis modifikasi dari busana pengantin adat ini dengan nama baamar galung modifikasi
Musik Kintung termasuk alat musik pentatonis, boleh dikatakan pula sejenis alat musik perkusi. Karena cara membunyikannya dihentakkan pada sebuah potongan kayu yang bundar. Alat musik Kintung ini berjumlah 7 buah dan masing-masing mempunyai nama, yaitu : Hintalu randah, hintalu tinggi, tinti pajak, tinti gorok, pindua randah, pindua tinggi dan gorok tuha.
Kalang Kumpak merupakan alat musik tradisional Suku Bukit. Masyarakat Dayak Maanyan menyebut kalang kumpak dengan nama "salung" yang berfungsi untuk menghibur petani di ladang dan untuk mengusir binatang buas.
Alat musik peninggalan nenek moyang ini biasanya dimainkan saat upacara adat atau acara perkimpoian dan kenduri. Belakangan digunakan untuk acara perkimpoian, menyambut tamu atau pejabat ke kekampung atau acara kenduri lainnya. Namun keberadaan alat musik kurung-kurung saat ini hampir punah.
Alat musik bumbung ini dapat ditemukan di Desa Berikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
1. Asal-usul
Alat musik terbang sendiri telah kita ketahui adalah sejenis alat musik pukul yang terbuat dari kayu berbentuk bulat dengan lubang ditengahnya. Salah satu lubang tersebut ditutup dengan kulit binatang yang apabila dipukul akan mengeluarkan bunyi dengan nada yang sesuai dengan diameter kayu tersebut.
Alat musik terbang sendiri bisa kita temui di beberapa daerah di Indonesia seperti di Provinsi Banten maupun di DKI Jakarta.
Mengingat kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit, maka tak heran jika alat musik tradisional yang digunakan juga banyak memiliki kesamaan. Namun demikian dalam perkembangannya ada dua versi gamelan Banjar. Yaitu gamelan banjar versi keraton dan gamelan banjar kerakyatan.
Gamelan Banjar versi keraton, perangkat instrumennya :
Namun seiring waktu, gamelan banjar versi keraton semakin memudar dan yang sampai saat ini bertahan adalah gamelan bajar versi kerakyatan.
Sarapang biasanya digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan untuk berburu atau menangkap ikan-ikan besar.
Dalam kehidupan masyarakat Kalimatan Selatan, parang biasanya digunakan sebagai senjata dan alat rumah tangga sehari-hari, sebagai senjata berburu atau alat pertanian
Hai teman - teman semua!!! kali ini aku bakal berbagi ilmu tentang kebudayaan yang ada di Kalimantan Selatan. Sebenernya sih ini tugas proyek IPS, dulu sempet kesusahan buatnya tapi ga pa pa lah berbagi ilmu itu kan ibadah:) Ok, to the point aja lah yaa....
A.
Bahasa
Daerah Kalimantan Selatan
Di tanah asalnya di
Kalimantan Selatan, bahasa Banjar yang merupakan bahasa sastra lisan terbagi
menjadi dua dialek besar yaitu Banjar
Kuala dan Banjar Hulu.
Sebelum dikenal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, pada zaman dahulu
apabila berpidato, menulis atau mengarang, orang Banjar menggunakan bahasa Melayu Banjar dengan
menggunakan aksara Arab. Tulisan atau huruf yang digunakan umumnya huruf atau
tulisan Arab gundul dengan bahasa tulis bahasa Melayu (versi Banjar). Semua
naskah kuno yang ditulis dengan tangan seperti puisi, Syair Siti Zubaidah,
syair Tajul Muluk, syair Burung Karuang, dan bahkan Hikayat Banjar dan Tutur Candi
menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu (versi Banjar).
Bahasa Banjar
dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Minangkabau, bahasa
Betawi, bahasa Iban, dan lain-lain.
Karena kedudukannya
sebagai lingua franca, pemakai bahasa Banjar lebih banyak daripada
jumlah suku Banjar itu sendiri. Selain di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjar
yang semula sebagai bahasa suku bangsa juga menjadi lingua
franca di daerah lainnya, yakni Kalimantan
Tengah dan Kalimantan
Timur serta di daerah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, sebagai bahasa
penghubung antar suku. Di Kalimantan Tengah, tingkat pemertahanan bahasa
Banjar cukup tinggi tidak sekadar bertahan di komunitasnya sendiri, bahkan
menggeser (shifting) bahasa-bahasa orang Dayak. Penyebaran bahasa
Banjar sebagai lingua franca ke luar dari tanah asalnya memunculkan varian
Bahasa Banjar versi lokal yang merupakan interaksi bahasa Banjar dengan bahasa
yang ada di sekitarnya misalnya bahasa Samarinda,
dan bahasa Kumai. Di sepanjang daerah hulu sungai
Barito atau sering disebut kawasan Barito Raya (Tanah
Dusun) dapat dijumpai bahasa Banjar versi logat Barito misalnya di kota
Tamiang Layang digunakan bahasa Banjar dengan logat Dayak Maanyan.
Pemakaian bahasa
Banjar dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di Kalimantan Selatan dan
sekitarnya lebih dominan dibandingkan dengan bahasa
Indonesia. Berbagai suku di Kalimantan Selatan dan sekitarnya berusaha
menguasai bahasa Banjar, sehingga dapat pula kita jumpai bahasa Banjar yang
diucapkan dengan logat Jawa atau Madura yang
masih terasa kental seperti yang kita jumpai di kota
Banjarmasin.
Bahasa Banjar juga
masih digunakan pada sebagian permukiman suku Banjar di Malaysia seperti di
Kampung (Desa) Parit Abas, Mukim (Kecamatan) Kuala Kurau, Daerah
(Kabupaten) Kerian, Negeri
Perak Darul Ridzuan.
Bahasa Banjar
banyak dipengaruhi oleh bahasa
Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa Dayak. Kesamaan
leksikal bahasa Banjar terhadap bahasa lainnya yaitu 73% dengan bahasa
Indonesia [ind], 66% dengan bahasa Tamuan (Malayic
Dayak), 45% dengan bahasa Bakumpai [bkr], 35% dengan bahasa
Ngaju [nij]. Hasil penelitian Wurm dan Willson (1975), hubungan
kekerabatan antara Bahasa Melayu dan Bahasa Banjar mencapai angka 85 persen.
Adapun kekerabatan dengan bahasa Maanyan sekitar 32 % dan dengan bahasa
Ngaju 39 %, berdasarkan penelitian Zaini HD1. Bahasa Banjar mempunyai
hubungan dengan bahasa yang digunakan suku
Kedayan(sebuah dialek dalam bahasa
Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan bahasa Banjar sering pula
disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa
Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan
bahasa asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari
kepunahan karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat
Banjar maupun oleh pendatang. Walaupun terjadi penurunan penggunaan bahasa
Banjar namun laju penurunan tersebut tidak sangat kentara. Saat ini,
Bahasa Banjar sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan sebagai muatan lokal. Bahasa
Banjar juga memiliki sejumlah peribahasa.
Walaupun
bahasa Banjar dianggap sebagai bahasa Melayu, tetapi faktanya tidak ada
kekerabatan dengan bahasa Melayu lainnya.
Bahasa Banjar dibagi menjadi dua dialek besar,
yaitu dialek Banjar Hulu dan Banjar Kuala. Perbedaan utama antara kedua dialek
tersebut adalah fonologi dan
kosa kata, meskipun susunan sintaksisnya yang sedikit
berbeda juga dapat diberitahukan. Banjar Hulu hanya mempunyai tiga huruf vokal
saja, yaitu /i/, /u/, and /a/. Apabila sebuah kata mengandung huruf vokal
selain huruf ketiga tersebut, maka huruf asing tersebut diganti dari salah satu
dari mereka berdasarkan pada kedekatan ketinggiannya dan kualitas huruf vokal
yang lain.
Sebagai
contoh, penutur bahasa Banjar mencoba mengucapkan kata yang berasal dari bahasa
Inggris "logo" akan diucapkan seperti kata bahasa Indonesia untuk
polos, "lugu". Kata bahasa Indonesia "orang" akan diucapkan
sebagai "urang". Kata "kemana" akan diucapkan dan bahkan
sering kali diucapkan sebagai "kamana". Karakteristik khusus yang
lain dari dialek Banjar Hulu adalah kata yang berawalan dengan huruf vokal
sebagian besar diucapkan /h/ di awal pada sebuah kata. Penambahan /h/ juga
dapat diucapkan dalam ejaan.
Banjar Kuala
mempunyai lima huruf vokal /a, i, u, e, o/.
Peta
persebaran suku bangsa Banjar di berbagai daerah. Meski suku Banjar bermigrasi
ke berbagai daerah, namun bahasa Banjar masih tetap mereka bawa dan dipakai
dalam percakapan sehari-hari. Daerah perantauan orang Banjar yang masih
menuturkan bahasa Banjar secara asli adalah di daerah Sumatera dan Malaysia Barat.
Secara
geografis, suku ini pada mulanya mendiami hampir seluruh wilayah provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini yang kemudian
akibat perpindahan atau percampuran penduduk dan kebudayaannya di dalam proses
waktu berabad-abad, maka suku Banjar dan bahasa Banjar tersebar meluas sampai
ke daerah-daerah pesisir Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, bahkan
banyak didapatkan di beberapa tempat di pulau Sumatera yang kebetulan menjadi
permukiman perantau Banjar sejak lama seperti di Muara Tungkal, Tembilahan, dan Sapat.
Selain di
pantai timur pulau Sumatera, bahasa Banjar dapat dijumpai juga pada
perkampungan Suku Banjar yang berada di pantai barat semenanjung Malaya di Malaysia Barat (Perak
Tengah, Krian, Pahang, Kuala Selangor, Batu Pahat, Kuala Lumpur, walaupun
karena pertimbangan politik, suku Banjar di Malaya disebut sebagai orang Melayu, tetapi di
luar wilayah Malaya, seperti di Sabah dan Sarawak misalnya di daerah Tawau masih menyebut dirinya suku
Banjar.
Menurut
Cense, bahasa Banjar dipergunakan oleh penduduk sekitar Banjarmasin dan Hulu Sungai. Akibat
penyebaran penduduk, bahasa Banjar sampai di Kutai dan tempat-tempat lain di
Kalimantan Timur. Sedangkan Den Hamer melokalisasi bahasa Banjar itu
di samping daerah Banjarmasin dan Hulu Sungai sampai pula ke daerah pulau Laut (Kalimantan Tenggara) dan Sampit yang
secara administratif pemerintahan termasuk provinsi Kalimantan Tengah sekarang
ini. Dibandingkan dengan perantau-perantau dari daerah lain yang umumnya masih
mempunyai ikatan yang cukup kuat dengan daerah asal maupun kerabat dari daerah
asal seperti perantau Minang, Bugis dan Madura, maka pola
merantau suku Banjar berbeda. Perantau Banjar cenderung merantau hilang,
yakni tak lagi menjalin kontak dengan orang-orang daerah asal, tak banyak surat
menyurat dan tak banyak pulang ke daerah asal, namun tidak sama sekali
meninggalkan kebanjarannya. Ciri kebanjaran yang mencolok yang cenderung
dipertahankan orang Banjar adalah bahasa Banjar yang dapat dipertahankan dengan
cara membangun permukiman khusus komunitas orang yang berasal dari daerah
Banjar di tanah rantau, sehingga di dalam rumah tangga maupun kampung yang
baru, mereka dapat mempertahankan bahasa Banjar, maka kebanjaran orang Banjar
terutama sekali terletak pada bahasanya dan tanah air orang Banjar adalah
bahasa Banjar.
Selama
seseorang fasih menggunakan bahasa Banjar dalam kehidupan sehari-hari maka dia
dapat disebut orang Banjar, tidak peduli apakah ia lahir di Tanah Banjar atau
bukan, berdarah Banjar atau bukan, dan sebagainya. Bahasa merupakan salah satu
faktor kebanjarandisamping faktor lainnya seperti adat istiadat dan
lain-lain.
Bahasa
Banjar no. 6
Kalau
diperhatikan pembicara-pembicara bahasa Banjar dapat diidentifikasi adanya
variasi-variasi dalam pengucapan ataupun perbedaan-perbedaan kosa kata satu
kelompok dengan kelompok suku Banjar lainnya, dan perbedaan itu dapat disebut
dialek dari bahasa Banjar yang bisa dibedakan antara dua dialek
besar yaitu;
·
Bahasa Banjar Hulu Sungai/Bahasa Banjar Hulu
·
Bahasa Banjar Kuala
Dialek
Banjar Kuala umumnya dipakai oleh penduduk asli sekitar kota Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari. Sedangkan
dialek Banjar Hulu adalah bahasa Banjar yang dipakai penduduk daerah Hulu Sungai umumnya
yaitu daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara (dan Balangan)
serta Tabalong. Pemakai
dialek Banjar Hulu ini jauh lebih luas dan masih menunjukkan beberapa variasi
subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan istilah dialek lokal
yaitu seperti Amuntai, Alabiu, Kalua, Kandangan, Tanjung dan
bahkan Den Hamer cenderung berpendapat bahwa bahasa yang
dipakai oleh orang Bukit yaitu
penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek Banjar Hulu pula.
Dan mungkin subdialek baik Banjar Kuala maupun Banjar Hulu itu masih banyak
lagi, kalau melihat banyaknya variasi pemakaian bahasa Banjar yang masih
memerlukan penelitian yang lebih cermat dari para ahli dialektrografi sehingga
bahasa Banjar itu dengan segala subdialeknya bisa dipetakan secara cermat dan
tepat. Berdasarkan pengamatan yang ada, pemakaian antara dialek besar Banjar
Kuala dengan Banjar Hulu dapat dilihat paling tidak dari dua hal, yaitu:
1.
Adanya perbedaan pada kosa kata tertentu;
2.
Perbedaan pada bunyi ucapan terhadap fonem tertentu. Di samping itu ada
pula pada perbedaan lagu dan tekanan meskipun yang terakhir ini bersifat tidak
membedakan (non distinctive).
Bahasa
Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai di wilayah Banua Enam yang
merupakan bekas Afdelling Kandangan dan Afdeeling
Amoentai (suatu pembagian wilayah pada zaman pendudukan Belanda) yang
meliputi kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong pada
pembagian adiministrasi saat ini.
Puak-puak
suku Banjar Hulu Sungai dengan
dialek-dialeknya masing-masing relatif bersesuaian dengan pembagian
administratif pada zaman kerajaan Banjar dan Hindia Belanda yaitu
menurut Lalawangan atau distrik (Kawedanan) pada masa
itu, yang pada zaman sekarang sudah berbeda. Puak-puak suku Banjar di daerah
Hulu Sungai tersebut misalnya :
1.Orang Kelua dari bekas Distrik Kelua di
hilir Daerah Aliran Sungai Tabalong,Kabupaten Tabalong.
2.Orang Tanjung dari bekas Distrik Tabalong di
hulu Daerah Aliran Sungai Tabalong, Kabupaten Tabalong
3.Orang Lampihong/Orang Balangan dari
bekas Distrik Balangan (Paringin) di Daerah Aliran Sungai Balangan, Kabupaten Balangan
4.Orang Amuntai dari bekas Distrik Amuntai di Hulu Sungai Utara
5.Orang Alabio dari bekas Distrik Alabio di Hulu Sungai Utara
6.Orang Alai dari bekas Distrik Batang Alai di Daerah Aliran Sungai Batang Alai, Hulu Sungai Tengah
7.Orang Pantai Hambawang/Labuan Amas
dari bekas Distrik Labuan Amas di Daerah Aliran Sungai Labuan Amas, Hulu Sungai Tengah
8.Orang Negara dari bekas Distrik Negara di
tepi Sungai Negara, Hulu Sungai Selatan.
9.Orang Kandangan dari bekas Distrik Amandit di
Daerah Aliran Sungai Amandit, Hulu Sungai Selatan
10.
Orang Margasari dari bekas Distrik Margasari di Kabupaten Tapin
11.
Orang Rantau dari bekas Distrik Benua Empat di Daerah Aliran Sungai Tapin, Kabupaten Tapin
Daerah Oloe
Soengai dahulu merupakan pusat kerajaan Hindu, di mana asal mula perkembangan
bahasa Melayu Banjar.
Dialek
merupakan variasi dari suatu bahasa tertentu dan dituturkan oleh sekumpulan
masyarakat bahasa tersebut. Dialek ditentukan oleh fakor geografis (dialek
kawasan) dan sosial (dialek sosial). Dialek sosial seperti bahasa baku, bahasa
basahan (bahasa kolokial), bahasa formal, bahasa tak formal, bahasa istana,
bahasa slanga (prokem), bahasa
pasar, bahasa halus, bahasa kasar dan sebagainya.
Dialek
kawasan berbeda dari segi:
·
Sebutan
·
Contoh: Perkataan gimit (pelan)
disebut dalam berbagai dialek seperti gamat, gimit, gémét, gumut.[49]
·
Gaya (nada) bahasa
·
Contoh: Subdialek Kalua biasanya mempunyai sebutan
yang lebih panjang daripada Subdialek Banjarmasin.
·
Tata bahasa
·
Contoh: kuriak-kuriak (dialek Banjar
Kuala) dan kukuriak (dialek Banjar Hulu).[50]
·
Kosa kata
·
Contoh: hamput (Banjarmasin), tawak (Barabai), himpat (Kalua), hantup (Tanjung), tukun (Amuntai), tokon (Kumai), tingkalung(Samarinda)
artinya lempar (Betawi: sambit).
·
Contoh: adupan (Banjarmasin), hidupan (Barabai), kuyuk (Kalua), kutang (Kandangan), duyu'(Paringin), asu (Marabahan),
artinya anjing.
·
Kata ganti diri
·
Contoh : kao (dialek utara
Kalsel maksudnya kamu) dan ikam (dialek tengah
Kalsel bermaksud kamu) dan nyawa (dialek selatan
Kalsel bermaksud kamu)
·
Contoh : ia (dialek utara Kalsel
maksudnya dia) dan inya (dialek selatan Kalsel
bermaksud dia)
Dialek-dialek
Bahasa Banjar Hulu bersesuaian dengan kecamatan-kecamatan yang
berpenduduk suku Banjar yang
ada di Hulu Sungai, karena
orang Banjar menyebut dirinya berdasarkan asal kecamatan atau banua masing-masing.
Dialek-dialek tersebut antara lain :
1.
Muara Uya
2.
Haruai
3.
Tanjung
4.
Tanta
5.
Kelua
6.
Banua Lawas
7.
Amuntai
9.
Babirik
10.
Sungai Pandan (Alabio)
11.
Batu Mandi
12.
Lampihong
13.
Awayan
14.
Paringin
15.
Juai
16.
Batu Benawa
17.
Haruyan
18.
Batang Alai
19.
Barabai
20.
Pandawan
21.
Labuan Amas
22.
Angkinang
23.
Kandangan
24.
Simpur
25.
Daha (Negara)
26.
Sungai Raya
27.
Telaga Langsat
28.
Padang Batung
29.
Margasari (di
kecamatan Candi Laras)
30.
Tapin
31.
Binuang
Mengingat
orang-orang Banjar yang berada di Sumatera dan Malaysia Barat mayoritas
berasal dari wilayah Hulu Sungai (Banua Enam), maka
bahasa Banjar yang dipakai merupakan campuran dari dialek Bahasa Banjar Hulu
menurut asal usulnya di Kalimantan Selatan.
Dialek
bahasa Banjar Hulu juga dapat ditemukan di kampung-kampung (handil) yang
penduduknya berasal dari Hulu Sungai, seperti di kecamatan Gambut, Aluh Aluh, Tamban yang terdapat di wilayah Banjar Kuala.
Dialek
Bahasa Banjar Kuala yaitu bahasa yang meliputi Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tanah Laut,
serta kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Karena
letaknya yang strategis di sekitar sungai Barito, pemakaiannya meluas hingga
wilayah pesisir bagian tenggara Kalimantan yaitu kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru sampai
ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Bahasa
Banjar Kuala dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi tertentu, jadi
berbeda dengan bahasa Banjar Hulu dengan logat yang kental (ba-ilun).
Dialek Banjar Kuala yang asli misalnya yang dituturkan di daerah Kuin, Sungai Jingah, Banua Anyardan sebagainya di sekitar kota Banjarmasin yang
merupakan daerah awal berkembangnya kesultanan Banjar.
Bahasa
Banjar yang dituturkan di Banjarmasin dengan penduduknya yang heterogen berbeda
dengan Bahasa Banjar yang dituturkan di Hulu Sungai dengan penduduknya yang
agak homogen. Perbedaan pada umumnya terletak pada intonasi, tekanan,
tinggi-rendah dan sebagian kosa kata. Di Banjarmasin, intonasi terbagi tiga karakter.
1.
Di kawasan barat kecamatan Banjarmasin Utara yaitu
daerah sepanjang tepian sungai Barito, dekat Pasar Terapung, tepatnya di
perkampungan Alalak (dahulu Alalak Besar), penduduk asli di sana menuturkan
kata, frasa, kalimat lebih cepat, keras dan tinggi.
2.
Di sepanjang sungai Martapura (Banjarmasin hulu) yang
termasuk dalam kawasan timur Kecamatan Banjarmasin Utara dan Banjarmasin
Tengah, terutama sekitar Kelurahan Seberang Mesjid,
sekitar Kampung Melayu Darat serta
di sekitar Kelurahan Sungai Jingah, masyarakat asli di sana bertutur
agak cepat, mengalun dan tinggi.
3.
Di pusat kota Banjarmasin di kecamatan Banjarmasin
Tengah, khususnya remaja perkotaan di sana bertutur bercampur bahasa Indonesia
dan gaya penuturannya tidak seperti penuturan di daerah pinggiran.
B.
Rumah
Adat Kalimantan Selatan
Terdapat
sekitar 12 jenis rumah adat yang terdapat di Kalimantan Selatan.
Sejarah Rumah Adat Kalimantan Selatan
Diantara
ciri-ciri rumah adat banjar terlihat pada perlambang, bentuk atap, ornamental,
dekoratif serta simetris.
Menurut
sejarahnya Rumah Adat Banjar telah ada sejak abad ke-16, saat Pangeran Samudera
menguasi menjabat sebagai penguasa daerah Bajar pada mulanya memeluk agama
Hindu. Masuknya agama Islam ke daerah banjar juga kemudian sedikit banyak
mempengaruhi budaya masyarakat serta bentuk bangunan rumah tradisional pada
saat itu. Karena pengaruh Agama Islam jugalah Pangeran Samudera kemudian
mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah dan bergelar Panembahan Batu
Habang.
Pada mulanya
bangunan rumah adat Banjar ini memiliki konstruksi berbentuk segi empat yang
memanjang ke depan.
Perkebangan
selanjutnya dari rumah adat banjar adalah penambahan bangunan di sisi kiri dan
kanan bangunan utama. Dalam istilah bahasa Banjar penambahan ini disebut
“disumbi”.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan itulah yang kemudian disebut dengan anjung.
Sehingga saat ini rumah adat banjar sering di kenal dengan sebutan “Rumah
Baanjung”.
Seiring
dengan perkembangan zaman, rumah tradisional banjar semakin sulit ditemui,
sekalipun masih ada, hanya beberapa bangunan rumah adat banjar saja yang masih
berdiri. Itupun kondisi rumah-rumah adat ini sudah mulai tua dimakan waktu.
Struktur
rumah adat Kalimantan Selatan didominasi oleh kayu, mulai dari pondasi hingga
atapnya. Dengan berlimpahnya kayu di Kalimantan tentu hal itu tidak menjadi
masalah bagi penduduk pada saat itu.
Berikut adalah
contoh kerangka rumah tradisional banjar menggunakan ukuran depa atau tapak
kaki. Setiap ukuran memiliki ukuran yang ganjil karena dipercaya memiliki nilai
magis.
1. Susuk
terbuat dari kayu Ulin
2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran atau Damar Putih
3. Lantai terbuat dari papan kayu Ulin setebal 3 cm
4. Watun Barasuk terbuat dari kayu Ulin berbentuk balok
5. Turus Tawing terbuat dari kayu Damar
6. Rangka pintu dan jendela tebuat dari kayu Ulin berbentuk papan
7. Balabad tebuat kayu Damar Putih berbentuk balok
8. Titian Tikus tebuat dari kayu Damar Putih berbentuk balok
9. Bujuran Sampiran dan Gorden tebuat dari kayu Ulin atau Damar Putih berbentuk
balok
10. Tiang Orong-Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan tebuat dari kayu
Ulin, kayu Lanan, atau Damar Putih berbentuk balok
11. Kasau terbuat dari kayu Ulin atau Damar Putih berbentuk balok
12. Ring tebuat dari bilah-bilah kayu Damar putih
13. Atap terbuat dari sirap kayu ulin atau Rumbia.
Macam-Macam Rumah Adat Kalimantan Selatan
Rumah adat banjar atau rumah adat Kalimantan Selatan dapat dibedakan menjadi 12
bentuk dan fungsi rumah, yang didasarkan pada kasta dan status serta pemilik
dan penghuni rumah itu sendiri.
Berikut adalah beberapa macam-macam rumah adat banjar.
1. Rumah Bubungan Tinggi
Rumah Bubungan Tinggi yang berfungsi sebagai bangunan Dalam Sultan (kedaton)
yang diberi nama Dalam Sirap, merupakan rumah yang paling tinggi kastanya. Yang
berfungsi sebagai istana kediaman sultan.
Kualitas serta kemegahan seninya mencerminkan status sosial maupun status
ekonomi sang pemilik rumah.
Ciri-ciri rumah
tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjukkan dengan bentuk-bentuk ornamen
berupa ukiran. Ukiran-ukiran tersebut biasanya terdapat pada tiang, tataban,
papilis, dan tangga. Bentuk dan seni ukir inipun banyak mendapat pengaruh dari
Agama Islam, kebanyakan motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan
bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung
enggang gading dan naga juga dibumbui dengan motif floral. Selain bentuk floral
dan binatang tedapat juga ukiran-ukiran berbentuk kaligrafi.
2. Rumah Palimasan/Rumah Gajah
Rumah ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa
emas dan perak
3. Rumah Balai Bini
Rumah Balai Bini berfungsi khusus dan ditempati oleh inang atau pengasuh.
4. Rumah Gajah Manyusu
Rumah Gajah Manyusu merupakan tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu
para Gusti-Gusti dan Anang.
5. Rumah Balai Laki
Rumah Balai Laki di pergunakan sebagai tempat tinggal para menteri kesultanan.
Wisata Rumah Adat Kalimantan Selatan
Filosofi
Rumah adat Sulawesi Selatan adalah pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar
sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan.
Pada suku Dayak terdapat kepercayaan bahwa alam semesta terbagi menjadi 2
bagian, yaitu alam atas (langit) dan alam bawah (bumi). Rumah Bubungan Tinggi
merupakan lambang alam atas dan alam bawah. Penghuninya seakan-akan tinggal di
bagian tengah dunia yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah.Gabungan dari
dunia atas dan dunia bawah dilambangkan dengan Mahatala dan Jata (suami dan
isteri).
Rumah
adat Kalimantan Selatan masih dapat kita jumpai di beberapa tempat meski
usianya sudah mencapai ratusan tahun, sebagian rumah-rumah itu masih ada yang
berdiri dan dipelihara dengan baik.
Di Kalimantan
Selatan dapat kita jumpai beberapa rumah adat Banjar atau rumah adat kalimantan
Selatan di daerah-daerah berikut ini.
1. Desa Sungai Jingah,
2. Kampung Melayu Laut di Melayu,
3. Banjarmasin Tengah, Banjarmasin,
4. Desa Teluk Selong Ulu, Maratapura, Banjar,
5. Desa Dalam Pagar,
6. Desa Tibung,
7. Desa Gambah (Kandangan),
8. Desa Birayang (Barabai), dan
9. Negara.
C.
Tari
Tradisional Kalimantan Selatan
Secara garis
besar tari tradisional yang berkembang di Provinsi Kalimantan Selatan dapat
dibedakan menjadi Tari Adat Etnis Banjar dan Tarian tradisional etnis Dayak.
Tari- tarian
tradisional Kalimantan Selatan yang masuk kedalam etnis Banjar, telah
berkembang sejak masa kesultanan Banjar serta dipengaruhi oleh budaya Jawa
dan Melayu.
Adapun
contoh tari-tarian dari Suku Banjar di Kalimantan
Selatan antara lain Tari Baksa Kambang, Radap Rahayu, Kuda Gepang, Baksa
Dadap, Baksa Hupak, Baksa Katar, Baksa Kupu-kupu, Baksa Lilin, Baksa Panah,
Baksa Tameng, Baksa Tumbak, Balatik, Baleha, Batarasulan, Bogam, Dara
Manginang, Garah Rahwana, Hantak Sisit, Hanoman, Japin Batuah, Japin Dua
Saudara, Japin Hadrah, Japin Kuala, Japin Pasanggrahan, Japin Rantauan, Japin
Sisit, Kuda Gepang, Ladon, Maayam Tikar, Ning Tak Ning Gung, Paris Tangkawang,
Radap Rahayu, Rudat, Sinoman Hadrah, Tantayungan, Tanggui, Tameng Cakrawati,
Tirik Kuala, Tirik Lalan, Topeng Kelana, Topeng Wayang, dan Tari Topeng.
Sedangkan
tari Kalimanta Selatan yang berasal dari etnis dayak antara lain tari Tandik
Balian, Tari Babangsai dan Tari Kanjar. Dan berikut ini tari-tarian tradisional
Kalimantan Selatan bersama penjelasannya.
1. Tari Tradisional Kalimantan
Selatan - Tari Baksa Kambang
Tari Baksa Dadap merupakan tari klasik Banjar Kalimantan Selatan, tarian ini masih dipertunjukkan di keraton Banjar menurut laporan orang-orang Belanda yang mengunjungi keraton Banjar terakhir. Dalam mempersembahkan tarian ini para penari memegang busur dan anak panah yang dipanggil dadap. Mereka melompat dengan senjata ini, sambil mengankat sebelah kaki, bergerak dengan amat cepat, seolah-olah mereka terpaksa mempertahankan diri dari serangan yang datang dari semua sudut.
Pada awalnya, tari Radap Rahayu adalah tarian yang memiliki fungsi sebagai penolak bala dan bersifat ritual bagi masyarakat Banjarmasin. Tari Radap Rahayu dilakukan pada upacara seperti kehamilan, perkawinan, dan kematian. Tari Radap Rahayu sebagai tari penolak bala dan tari meminta keselamatan berasal dari peristiwa di mana kapal Perabu Yaksa berisi patih Lambung Mangkurat yang pulang berkunjung dari kerajaan majapahit. Ketika sampai di Muara Mantuil dan akan memasuki Sungai barito, kapal ini kandas di tengah perjalanan. Perahu oleng dan nyaris terbalik. Situasi itu membuat patih Lambung Mangkurat memuja Bantam yaitu meminta pertolongan pada yang maha kuasa agar kapal diselamatkan. Tak lama, turun tujuh bidadari ke atas kapal kemudian mengadakan upacara beradap-adap. Akhirnya kapal selamat dan para bidadari kembali ke kayangan. Hal itu ditandai dengan gerakan awal dan akhir tarian Radap Rahayu yaitu gerak terbang layang. Kini tari Radap Rahayu lebih dilakukan saat acara-acara penyambutan tamu-tamu sebagai tanda penghormatan. Istilah permohonan kepada Tuhan adalah memuja bantam turun seorang bidadari yang mengadakan upacara beradap - adap diatas kapal. Setelah kapal terselamatkan bidadari tersebut kembali kekayangan dengan gerakan tarian radap Rahayu.
Menurut cerita dahulu Tarian ini berasal dari Lambung Mangkurat yang datang ke Majapahit untuk bertemu dengan Gajah Mada ketika mau pulang di beri hadiah kuda, ketika dinaiki kudanya lumpuh, dengan kesaktiannya kudanya di kecilin dan di bawa pakai tangan untuk dinaikkan ke kapal.
Masyarakat Kalimantan Selatan juga biasa menamakan jenis modifikasi dari busana pengantin adat ini dengan nama baamar galung modifikasi
Musik Kintung termasuk alat musik pentatonis, boleh dikatakan pula sejenis alat musik perkusi. Karena cara membunyikannya dihentakkan pada sebuah potongan kayu yang bundar. Alat musik Kintung ini berjumlah 7 buah dan masing-masing mempunyai nama, yaitu : Hintalu randah, hintalu tinggi, tinti pajak, tinti gorok, pindua randah, pindua tinggi dan gorok tuha.
Kalang Kumpak merupakan alat musik tradisional Suku Bukit. Masyarakat Dayak Maanyan menyebut kalang kumpak dengan nama "salung" yang berfungsi untuk menghibur petani di ladang dan untuk mengusir binatang buas.
Alat musik peninggalan nenek moyang ini biasanya dimainkan saat upacara adat atau acara perkimpoian dan kenduri. Belakangan digunakan untuk acara perkimpoian, menyambut tamu atau pejabat ke kekampung atau acara kenduri lainnya. Namun keberadaan alat musik kurung-kurung saat ini hampir punah.
Alat musik bumbung ini dapat ditemukan di Desa Berikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
1. Asal-usul
Alat musik terbang sendiri telah kita ketahui adalah sejenis alat musik pukul yang terbuat dari kayu berbentuk bulat dengan lubang ditengahnya. Salah satu lubang tersebut ditutup dengan kulit binatang yang apabila dipukul akan mengeluarkan bunyi dengan nada yang sesuai dengan diameter kayu tersebut.
Alat musik terbang sendiri bisa kita temui di beberapa daerah di Indonesia seperti di Provinsi Banten maupun di DKI Jakarta.
Mengingat kesenian ini berasal dari Kerajaan Majapahit, maka tak heran jika alat musik tradisional yang digunakan juga banyak memiliki kesamaan. Namun demikian dalam perkembangannya ada dua versi gamelan Banjar. Yaitu gamelan banjar versi keraton dan gamelan banjar kerakyatan.
Gamelan Banjar versi keraton, perangkat instrumennya :
Namun seiring waktu, gamelan banjar versi keraton semakin memudar dan yang sampai saat ini bertahan adalah gamelan bajar versi kerakyatan.
Sarapang biasanya digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan untuk berburu atau menangkap ikan-ikan besar.
Dalam kehidupan masyarakat Kalimatan Selatan, parang biasanya digunakan sebagai senjata dan alat rumah tangga sehari-hari, sebagai senjata berburu atau alat pertanian
Tari Baksa Kambang adalah tarian klasik Banjar yang
ditampilkan untuk menyambut tamu Agung yang datang ke Kalimantan
Selatan. Tari Baksa Kambang merupakan tarian tunggal yang ditarikan oleh wanita,
akan tetapi bisa juga ditarikan oleh beberapa penari wanita.
Tarian Baksa Kambang ini memakai
properti sepasang kembang Bogam yaitu rangkaian kembang mawar, melati, kantil
dan kenanga. Kembang bogan ini akan dihadiahkan kepada tamu pejabat dan isteri,
setelah taraian ini selesai ditarikan. Sebagai gambaran ringkas, tarian ini
menggambarkan putri-putri remaja yang cantik sedang bermain-main di taman
bunga. Mereka memetik beberapa bunga kemudian dirangkai menjadi kembang bogam
kemudian kembang bogam ini mereka bawa bergembira ria sambil menari dengan
gemulai. Tari Baksa Kembang memakai Mahkota bernama Gajah Gemuling yang ditatah
oleh kembang goyang, sepasang kembang bogam ukuran kecil yang diletakkan pada
mahkota dan seuntai anyaman dari daun kelapa muda bernama halilipan.
Tarian Baksa Kambang diiringi
seperangkat tetabuhan alat musik
tradisional Kalimantan Selatanatau gamelan dengan irama lagu yang
sudah baku yaitu lagu Ayakan dan Janklong atau Kambang Muni. Tarian Baksa
Kembang ini di dalam masyarakat Banjar ada beberapa versi , ini terjadi setiap
keturunan mempunya gaya tersendiri namun masih satu ciri khas sebagai tarian
Baksa Kembang, seperti Lagureh, Tapung Tali, Kijik, Jumanang. Pada tahun
1990-an, Taman Budaya Kalimantan Selatan berinisiaf mengumpul pelatih-pelatih
tari Baksa Kembang dari segala versi untuk menjadikan satu Tari Baksa Kembang
yang baku. Setelah ada kesepakatan, maka diadakanlah workshoup Tari Baksa
Kembang dengan pesertanya perwakilan dari daerah Kabupaten dan Kota se
Kalimantan Selatan. Walau pun masih ada yang menarikan Tari Baksa Kembang versi
yang ada namun hanya berkisar pada keluarga atau lokal, tetapi dalam lomba,
festival atau misi kesenian keluar dari Kalimantan Selatan harus menarikan
tarian yang sudah dibakukan.
Tarian Baksa tersebut diciptakan
pada satu masa seperti tari Baksa lilin, Baksa Dadap, Baksa Tameng dan Baksa
Panah ketika jaman hindu sebelum islam datang ke Kalimantan selatan.
Tari Baksa ini juga ditampilkan
untuk keperluan hajatan selain untuk menyambut tamu kehormatan serta kerabat
kerajaan. Tari ini pada jaman dahulu hanya ditampilkan untuk kalangan kerajaan
saja dan kemudian menyebar ke masyarakat umum.
Hingga sekarang tari ini masih
digunakan untuk menyambut tamu yang dihormati meskipun para penari banyak yang
belum mengetahui arti serta nilai tari Baksa kembang. Tari ini identik dengan
kelembutan yang mencerminkan kelembutan tuan rumah menyambut tamu.
Kelembutan tersebut disimbolkan
dengan pemberian kembang terhadap tamu dan sebuah nilai- nilai cinta sepasang
kekasih pangeran Suria Wangsa Gangga dengan putri kuripan.
2. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Baksa
Tameng
Tari baksa tameng merupakan jenis tari klasik Banjar dengan menggunakan taming/tameng (perisai).Dalam tarian ini sebuah perisai kecil yang dinamakan taming, dan sebilah keris terhunus dipegang. Tarian ini dimulai dengan perlahan-lahan dan dengan penuh hormat dan kemudian sedikit demi sedikit menjadi lebih cepat dan lebih liar, seolah-olah menggambarkan suatu pertarungan. Tari Baksa Tameng ditarikan oleh penari laki-laki, diiringi musik tradisional atau gamelan dan lagu Parang Lima, Parang Capat. Penari Baksa Tameng menggunakan pakaian tradisional yang menggambarkan seorang ksatria/prajurit.
Tari baksa tameng merupakan jenis tari klasik Banjar dengan menggunakan taming/tameng (perisai).Dalam tarian ini sebuah perisai kecil yang dinamakan taming, dan sebilah keris terhunus dipegang. Tarian ini dimulai dengan perlahan-lahan dan dengan penuh hormat dan kemudian sedikit demi sedikit menjadi lebih cepat dan lebih liar, seolah-olah menggambarkan suatu pertarungan. Tari Baksa Tameng ditarikan oleh penari laki-laki, diiringi musik tradisional atau gamelan dan lagu Parang Lima, Parang Capat. Penari Baksa Tameng menggunakan pakaian tradisional yang menggambarkan seorang ksatria/prajurit.
3. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Baksa
Dadap
Tari Baksa Dadap merupakan tari klasik Banjar Kalimantan Selatan, tarian ini masih dipertunjukkan di keraton Banjar menurut laporan orang-orang Belanda yang mengunjungi keraton Banjar terakhir. Dalam mempersembahkan tarian ini para penari memegang busur dan anak panah yang dipanggil dadap. Mereka melompat dengan senjata ini, sambil mengankat sebelah kaki, bergerak dengan amat cepat, seolah-olah mereka terpaksa mempertahankan diri dari serangan yang datang dari semua sudut.
Tari Baksa Dadap merupakan tari klasik Banjar Kalimantan Selatan, tarian ini masih dipertunjukkan di keraton Banjar menurut laporan orang-orang Belanda yang mengunjungi keraton Banjar terakhir. Dalam mempersembahkan tarian ini para penari memegang busur dan anak panah yang dipanggil dadap. Mereka melompat dengan senjata ini, sambil mengankat sebelah kaki, bergerak dengan amat cepat, seolah-olah mereka terpaksa mempertahankan diri dari serangan yang datang dari semua sudut.
4. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Radap
Rahayu
Busana yang digunakan penari ini
disebut baju layang yang menggambarkan keindahan bidadari. Untuk gerakan ritual
menggunakan properti cepu dan bunga rampai ditangan kiri. Iringan yang digunakan
adalah nyanyian syair dan iringan musik.
Berakhirnya kerajaan dwipa tari
radap rahayu mengalami kepunahan dan akhirnya oleh Pangeran Hidayatullah
seorang seniman Banjar mempopulerkan tari ini. Pada tahun 1955 oleh kyai Amir
Hasan Bondan tarian ini dibangkitkan kembali, kelompok tersebut bernama
PERPEKINDO Banjarmasin dan eksis hingga sekarang.
5. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Kuda
Gepang
6. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Bagandut
Tari Gandut ini pada mulanya hanya
dimainkan di lingkungan istana kerajaan, baru pada kurang lebih tahun 1860-an
tari ini berkembang ke pelosok kerajaan dan menjadi jenis kesenian yang disukai
oleh golongan rakyat biasa. Tari ini dimainkan setiap ada keramaian, misalnya
acara malam perkimpoian, hajad, pengumpulan dana kampung dan sebagainya.
Tari Gandut sejak tahun 1960-an
sudah tidak berkembang lagi. Faktor agama Islam merupakan penyebab utama
hilangnya jenis kesenian ini ditambah lagi dengan gempuran jenis kesenian
modern lainnya. Sekarang Gandut masih bisa dimainkan tetapi tidak lagi sebagai
tarian aslinya hanya sebagai pengingat dalam pelestarian kesenian tradisional
Banjar.
Syarat menjadi penari Gandut harus
cantik sehingga tidak sembarang wanita dapat menjadi penari Gandut. Gandut
adalah sebuah profesi. Selain menari penari Gandut juga harus menguasai seni
bela diri dan mantra tertentu.
Pertunjukan tari Gandut ini tidak
terlepas dari penonton yang usil, sehingga para penari dibekali ilmu tambahan
untuk melindungi diri dari ilmu hitam. Penari Gandut jaman dulu banyak
diperistri oleh kalangan bangsawan. Penari Gandut selain memiliki paras cantik
juga diyakini dapat memikat hati penonton yang dikehendakinya. Misalnya Ratu
Komalasari bekas penari Gandut terkenal dan menjadi permaisuri Sultan Adam.
Arena tari Gandut pada masa jayanya
digunakan sebagai arena gengsi oleh para lelaki yang ikut menari. Persaingan
lelaki adalah dengan mempertontonkan kelihaian menari serta sejumlah uang yang
diberikan penari Gandut.
Kini tari Gandut sulit dijumpai
karena selain faktor lain juga jenis kesenian modern. Tari Gandut kini telah
berkembang dan tidak sesuai dengan tarian aslinya. Tari gandut kini digunakan
sebagai hiburan di kerajaan Banjar, Kecamatan Tapin Tengah Kabupaten Tapin
untuk pelestarian tradisional Banjar.
7. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Maayam
Tikar
8. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Tantayungan
Tari Tantayungan merupakan tarian
tradisi masayrakat Banjar Kalimantan Selatan. Tarian ini mempresentasikan kisah
dalam tokoh pewayangan. Sehingga tarian ini terkesan hidup lantaran diselingi
dengan dialog kelompok penari. Tarian ini sendiri diiringi dengan musik
karawitan melalui instrument alat musik
tradisional Kalimantan Selatan antara lain babun, gong,
sarunai, dan kurung-kurung. Paduan karawitan ini sangat harmoni dengan kelompok
tari yang diperankan.
Seni dan tari tantayungan, awalnya
kerap ditampilkan di sebuah desa, yakni Desa Ayuang, Barabai. Lalu dikembangkan
di Kampung Mu’ui, Desa Pangambau Hulu, Kecamatan Haruyan oleh salah satu damang
bernama Amat. Seni khas ini kemudian dikalim oleh pelaku seni HST, Sarbaini, di
Desa Barikin sebagai seni khas Hulu Sungai Tengah.
Sayang sampai saat ini keberadaan
tari Tantayungan telah hilang tergerus zaman
9. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Tandik
Balian
10. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari
Babangsai
Tarian
Babangsai merupakan tarian yang berasal dari Kalimantan Selatan. Tari Babangsai
ini merupakan salah satu tarian ritual dari suku Dayak Bukit. Tarian Babangsai
dari Kalimantan Selatan ini hampir sama dengan tari Kanjar, dimana jika tari
kanjar dilakukan oleh para lelaki, dan tari Babangsai dilakukan oleh para
wanita. Bentuk dari tarian ini berupa gerakan berputar-putar mengelilingi suatu
poros berupa altar tempat meletakkan sesaji. Tarian ini mirip dengan tarian
upacara ritual pada suku Dayak rumpun Ot Danum.
11. Tari Tradisional Kalimantan Selatan - Tari Kanjar
Tari Kanjar merupakan
tarian ritual pada upacara religi suku (Hindu Kaharingan) dari suku Dayak
Bukit. Tari Kanjar (ba-kanjar) pada suku Bukit dilakukan oleh penari lelaki,
sedangkan tarian serupa jika ditarikan penari wanita disebut tari babangsai.
Wujud tarian ini berupa gerakan berputar-putar mengelilingi suatu poros berupa
altar tempat meletakan sesaji (korban). Jadi mirip dengan tarian upacara ritual
pada suku Dayak rumpun Ot Danum lainnya, misalnya pada suku Dayak Benuaq di
Kalimantan Timur
Tari topeng adalah tari tunggal yang
dramatik, berasal dari Jawa, dipengaruhi oleh Sunda, tetapi roh dan jiwanya
adalah banjar.
Ada topeng kelana, topeng panji, topemg
sangkala, dan topeng dalang serta wayang topeng, yang dicipta sekitar tahun
1920 oleh Dinasti kitut di desa Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah,
Kalimantan Selatan.
Tradisi Topeng Banjar yang kini terancam punah.
Mendatangi Desa Barikin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Di
sinilah, kampung para seniman Topeng Banjar yang tersisa. Perjalanan sejauh 135
kilometer dari Kota Banjarmasin harus ditempuh lewat darat.
Generasi keenam Datu Taruna, moyang yang mewarisi
topeng Banjar memiliki beberapa Topeng Banjar yang telah berusia empat abad.
Terakhir yang pernah menggunakan adalah Astaliah.
Karakternya antara lain Ranggajiwa, Pamindo, Patih,
Pantul, Hambam, Kelana, Penambi, Panji, Tumenggung. Karakter topeng Banjar
didominasi warna putih. Dipercaya, topeng-topeng beragam karakter ini memiliki
ruh kayu tersendiri yang mendiaminya. Inilah yang kerap membuat penari
kerasukan.
Topeng Banjar, sendiri merupakan warisan dari Datu
Taruna, pelatih karawitan di Kerajaan Dipa sampai masa Kerajaan Daha pada abad
ke-14 silam.
Saat terjadi pergolakan kerajaan, Datu Taruna
mengasingkan diri ke daerah yang saat ini dinamakan Barikin. Di tempat ini
secara turun-temurun Tradisi Topeng Banjar ini terus dilestarikan.
Para penari masih memiliki hubungan saudara.
Pasalnya,berdasarkan wasiat Datu Taruna, hanya para keturunannyalah yang boleh
menarikan tarian ini.
Kini, di Barikin hanya tersisa empat remaja inilah
yang mau belajar dan meneruskan seni tari leluhurnya ini. Tarian begitu hikmat,
mengalun syahdu dengan gamelan Banjar dan nuansa malam hari yang menguatkan
nuansa misterius dari tarian sakral ini.
D.
Pertunjukan
Tradisional Kalimantan Selatan
1. Lamut
Lamut
adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial, dan budaya Banjar, Kalimantan Selatan. Lamut merupakan seni
cerita bertutur yang dibawakan dengan terbang, dan alat tabuh.
Biasanya
seni lamut dilakukan pada malam hari, mulai pukul 22.00 sampai pukul 04.00 atau
menjelang subuh tiba. Sedangkan pembawa cerita dalam lamut diberi julukan
‘Palamutan’. Dalam acara, Palamutan membawa terbang besar (alat musik) yang
diletakkan dipangkuannya yang duduk dikelilingi oleh pendengarnya, dari
tua-muda, laki-perempuan.
Mereka
yang baru melihat seni lamut selalu mengira kesenian ini mendapat pengaruh dari
Timur Tengah, Sobat Orbit. Sebab, kata lamut sendiri berasal dari bahasa Arab
laamauta yang artinya tidak mati. Padahal lamut berasal dari negeri China lho.
Bahasanya pun semula menggunakan bahasa Tionghoa, kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Banjar.
Sekitar
tahun 1816, lamut dibawa ke tanah Banjar sampai Amuntai oleh para pedagang
Tionghoa. Konon, orang-orang terdahulu sangat menyukai lamut karena membawa
cerita yang sangat banyak dan merupakan cerita pengalaman di banyak negeri yang
disampaikan dengan menarik.
Berawal
di Amuntai, Raden Ngabe bertemu pedagang China, pemiliki kapal dagang Bintang
Tse Cay. Dari pedagang itu, ia pertama kali mendengar alunan syair China. Enam
bulan kemudian, Raden Ngabe memperoleh salinan syair China tersebut.
Sejak
saat itu Raden Ngabe mempelajari dan melantunkannya, tanpa iringan apapun.
Kemudian lamut berkembang setelah warga memintanya dimainkan setiap kali panen
padi berhasil baik. Ketika kesenian hadrah masuk ke daerah Kalimantan Selatan
ini, lamut diselenggarakan dengan iringan terbang.
Tidak
hanya untuk menyambut panen, seni bertutur itu juga dapat menjadi hiburan pada
perkawinan, hari besar keagamaan maupun acara nasional yang disebut lamut
karasmin atau baramian. Lamut juga digunakan dalam proses penyembuhan penyakit
yang disebut lamut batatamba.
Nama
“Lamut” sebagai atribut kesenian ini diambil dari nama seorang tokoh cerita di
dalamnya, yaitu Paman Lamut sebagai perujudan tokoh Semar dalam cerita wayang.
Kesenian
ini sangat sederhana sekali karena materi pokok adalah penyampaian cerita oleh
seorang seniman yang dikenal sebagai Palamutan. Kesenian ini sudah sangat tua
dan langka.
1.
Penampilan
Kesenian
Lamut ditampilkan umumnya pada waktu malam hari sebagai hiburan rakyat dalam
rangka perayaan perkawinan, peringatan hari besar. Penyajian yang biasa
memerlukan waktu sekitar 2 sampai 3 jam.
Penampilan
kesenian Lamut sebagai hiburan rakyat biasanya dilaksanakan di area terbuka,
sang palamutan duduk bersila di atas meja sambil memukul gendang, sementara
penonton mengelilinginya. Seorang Palamutan mempergunakan kostum yang bebas
karena pakaian tidak termasuk pendukung dalam kesenian ini.
2.
Instrumen Lamut
Instrumen
kesenian Lamut adalah Tarbang Palamutan yang bergaris tengah 50 cm. Badan
tarbang ini dibuat dari batang pohon jingah atau kadang2 dari batang pohon
nangka. Gendangnya memakai kulit kambing yang disimpai dengan anyaman rotan
berbentuk segitiga. Untuk mengencangkan gendangnya digunakan lingkaran rotan yang
disisipkan dari dalam rongga badan di bawah gendang kulit kambing tersebut.
Tarbang
ini berfungsi sebagai pendukung utama dari materi pokok cerita yang disajikan
oleh Palamutan. Oleh karena itu tarbang harus dipukul oleh Palamutan itu
sendiri.
Sesuai
jalan cerita maka pukulan tarbang itu juga melahirkan nada-nada yang dinamik,
lembut, keras dan sebagainya yang tidak monoton.
3.
Cerita Lamut
Kesenian
Lamut adalah penyajian cerita yang disampaikan secara lisan oleh Palamutan
dalam bahasa bebas. Pada pengantar, bisa juga disisipkan pantun atau syair.
Bahasa pengantar ada Bahasa Banjar. Oleh karena itu seorang Palamutan dalam
sebuah penyajian dia dapat mewakili semua pihak. Dia juga bertindak sebagai
tokoh penyaji orang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Karena itu akan
lahir prolog, dialog, epilog dan monolog.
Adapun
cerita yang disajikan pada umumnya mengambil cerita kehidupan tokoh panakauan
paman Lamut (Semar) sekeluarga dengan versi kehidupan sehari-hari dan kadang2
disesuaikan dengan tata kehidupan masg kini.
Cerita
yang dikenal masyarakat Banjar ialah hubungan percintaan antara Kasan Mandi
dengan Galuh Puteri Jung Mayasari.
Kasan
Mandi adalah putera dari Maharaja Bungsu dari negeri Palinggam Cahaya sedangkan
Galuh Puteri Jung Mayangsari adalah puteri dari Indra Bayu, raja dari Mesir.
Kemudian timbul orang yang ketiga sebagai penghalang yaitu Sultan Aliudin dari
Lautan Gandang Mirung yang memiliki kesaktian luar biasa, menjadi tantangan
Kasan Mandi. Peperangan terjadi dan dengan bantuan Paman Lamut, Sultan Aliudin
dapat dikalahkan. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Puteri Jung Mayangsari yang
melahirkan seorang putera, dinamai Bujang Maluala.
Dalam
mengungkapkan cerita ini Palamutan menyisipkan humor dengan penampilan tokoh
lucu Semar sebagai paman Lamut, Bagung sebagai Anglong, Nalagareng sebagai
Anggasina dan Petruk sebagai Lebai.
Keterampilan
Palamutan sangat penting dalam menyajikan cerita ini. Karena bukan saja
dituntut adanya keseimbangan antara penyajian lisan dengan irama tarbang, juga
kadang-kadang harus diikuti dengan mimik dan pantomimik
2.
Madihin
Syair
Madihin merupakan jenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena ia menyajikan
syair – syair yang berasal dari kalimat – kalimat akhir yang bersamaan bunyi.
Madah
juga di artikan sebagai kata –kata pujian, karena syair – syair madihin dan
bait –bait madihin berupa pujian – pujian.
Madihin
menurut artilain dalam bahasa Banjar adalah Papadahan atau mamadahi dalam
bahasa Indonesia artinya memberi Nasehat ini disebabkan karena isi syair –
syair dan pantun berupa nasehat -
nasehat.
Contoh
dalam syair Madihin.
Kepada panganten aku bapasan
Mulai sakarang diubah kalakuan
Jangan lagi nang kaya bujangan
Kahulu kahilir pina kada mangaruan
Dahulu bagadang setiap minggu
Sudah bakaluarga jangan lagi nang kaya itu
Laki bagawi iringi do’a restu
Supaya bagawi kada taganggu
Riwayat
seni mahidin
Dalam
riwayat ini terdapat empat pendapat yaitu :
Pendapat
pertama : seni Madihin berasal dari kampunng Tawia kecamatan angkinang,
Kabupaten Hulu sungai selatan. Pemain madihin yang terkenal di kampung itu
adalah dullah nyang – nyang.
Pendapat
kedua : seni Madihin berasal dari
utara Kalimantan Selatan yaitu perbatasan dengan Malaysia (malaka).
Pendapat
ketiga : Seni Madihin berasal dari
kecamatan Paringin Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan selatan sebab dahulu
pamandihin terkenal bernama Dullah nyang-nyang lama bermukim di parangin.
Kesimpulan
: Seni madihin berasal dari banjar, berbahasa banjar yang tentu diciptakan
etnik banjar. Seni Madihin sudah ada sejak tahun 1800 dan keberadaanya di
pengaruhi oleh kasidah dan kebudayaan islam.
Fungsi
Seni Madihin dahulu dan sekarang
a.
Fungsi Madihin Dahulu :
1.
Untuk menghibur raja – raja atau pejabat. Isi syair dan pantun berisi pujian –
pujian sang raja dan pejabat istana.
2.
Sebagai Hiburan bagi rakyat pada waktu – waktu tertentu seperti mengisi hiburan
sehabis panen, perkawinan dan sunatan.
b.
Fungsi Madihin sekarang :
1.
Hiburan bagi masyarakat pengisi acara tertentu seperti, perkawinan, khitanan, peringatan hari – hari besar dan
Nasional, seperti 17 agustsus, Maulid
Nabi Muhammad SAW, Pendidikan, Isra Mi’raz dll.
2.
sarana penyampaian pesan kepada masyarakat, seperti penyuluhan Pembangunan, kesehatan dll.
3.
Sebagai alat Kontrol sosial dan penerangan.
3.
Mamanda
Asal Usul
Teater rakyat Mamanda merupakan kesenian asli
Suku Banjar di Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Teater ini telah dibawa
oleh rombongan bangsawan Malaka pada tahun 1897 M. Rombongan ini, di samping
bermaksud melakukan kegiatan perdagangan, juga memperkenalkan suatu kesenian
baru yang bersumber dari syair Abdoel Moeloek. Kesenian tersebut kemudian
dikenal dengan sebutan Badamuluk. Seiring perkembangan zaman, sebutan untuk
kesenian ini berkembang menjadi Bamanda atau Mamanda. Berikut ini akan
dikemukakan terlebih dahulu bagaimana sejarah dan perkembangan kesenian Mamanda
di Kalimantan Selatan.
Sejak masa Kerajaan Negara Dipa, masyarakat
Kalimantan Selatan telah mengenal beberapa jenis kesenian tradisional,
seperti wayang, topeng, dan joged.
Ketika Islam mulai berkembang di Kalimantan Selatan pada tahun 1550 M, terutama
setelah berdirinya Kesultanan Banjar yang mendapat bantuan dari Kesultanan
Demak, kesenian-kesenian tradisional semakin dikenal rakyat. Pada masa itu,
pihak kerajaan memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk melakukan kegiatan
seni dan budaya. Sehingga, kesenian-kesenian yang bercorak Islam makin berkembang,
seperti seni hadrah, rudat, zapen Arab, dan sebagainya.
Pada tahun 1620 M, tepatnya pada masa
pemerintahan Panembahan Batu Putih (Sultan Rahmatillah), banyak orang mulai
mempelajari seni tari dan seni suara yang diajarkan oleh ahli-ahli seni dari Jawa
dan Semenanjung Tanah Melayu. Perkembangan kesenian di Kalimantan Selatan masih
terus berlanjut. Pada tahun 1701 M, Sultan Banjar pernah mengutus Pangeran
Singa Marta untuk membeli kuda Bima. Selain membeli kuda, Pangeran Singa Marta
ternyata juga menikah dengan seorang Putri Bima yang dikenal sebagai ahli seni.
Mereka kembali ke Kalimantan Selatan dengan membawa sejumlah kesenian
tradisional asal Bima. Mereka menciptakan tari Jambangan Kaca dan tari Pagar
Mayang. Kesenian-kesenian tradisonal kian dekat di hati rakyat Banjar. Pada
masa pemerintahan Pangeran Hidayat (1845-1859 M), kesenian berkembang dengan
sangat pesat. Apalagi, Pangeran Hidayat merupakan seorang seniman sejati yang
sangat memperhatikan perkembangan kesenian ketika itu.
Pada tahun 1897 M, rombongan Abdoel Moeloek dari Kesultanan
Malaka datang ke Banjar. Rombongan yang lebih dikenal dengan sebutan Komedi
Indra Bangsawan ini dipimpin oleh Encik Ibrahim bin Wangsa bersama istrinya,
Cik Hawa. Rombongan ini menetap di Banjar hanya selama 10 bulan saja. Meski
demikian, kesenian yang dibawa oleh rombongan ini dengan sangat cepat
berpengaruh di Banjar. Hingga akhirnya pada abad ke-19 M, muncul sebuah
kesenian baru bernama Ba Abdoel Moeloek atau Badamulukyang diperkenalkan oleh Anggah Putuh dan Anggah Datu Irang. Nama
kesenian itu berasal dari judul cerita tentang Abdoel Moeloek yang dikarang
oleh Saleha, sepupu Raja Ali Haji. Badamuluk berkembang hingga ke Pasar Lama
Margasari, Periuk (Margasari Ilir), Pabaung, Merapian, dan Hulu Sungai. Badamuluk
semakin memasyarakat. Seiring perkembangan waktu, masyarakat Banjar lebih
senang menyebut kata Mamanda.
Menurut Hermansyah (2007), kesenian Mamanda,
sebagaimana pada umumnya teater rakyat, merupakan karya seni yang tercetus
dengan sendirinya dalam kehidupan masyarakat. Artinya, kesenian ini dihayati
oleh masyarakat karena memang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri. Pada awal mulanya, masyarakat membutuhkan adanya hiburan. Lambat laun,
mereka juga memerlukan adanya sebuah upacara yang dipadukan dengan hiburan yang
sudah ada. Akhirnya, terciptalah kesenian teater rakyat Mamanda ini sebagai
bentuk hasil karya dan kreativitas umat manusia.
Kesenian rakyat yang muncul sebagai ekspresi
kebudayaan masyarakat biasanya pada masa awal perkembangannya masih sangat
sederhana. Ada banyak bentuk teater yang masih sangat sederhana di Indonesia.
Teater semacam ini biasanya cukup dilakukan oleh satu, dua, atau tiga orang
saja. Pada awal mulanya, teater ini merupakan suatu bentuk sastra ungkapan yang
dinyanyikan dan dalam perkembangannya kemudian dipertunjukkan dengan diiringi
musik-musik tradisi.
Istilah Mamanda berasal dari kata mama yang
berarti paman atau pakcik dan kata nda sebagai morfem terikat yang berarti
terhormat. Jika digabung, Mamanda berarti paman yang terhormat. Kata paman
merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar. Sapaan ini
juga berlaku untuk orang yang dianggap seusia atau sebaya dengan ayah atau
orang tua. Kata ini juga sering digunakan oleh seorang sultan ketika menyapa
mangkubumi atau wazirnya dengan sebutan mamanda mangkubumi atau mamanda wazir.
Kata Mamanda juga sering digunakan dalam syair-syair Banjar.
Ada dua aliran dalam Mamanda, yaitu:
Aliran Batang Banyu. Aliran ini dipentaskan di
perairan atau sungai sehingga disebut dengan istilah Mamanda Batang Banyu.
Aliran yang juga disebut Mamanda Periuk dan berasal dari Margasari ini
merupakan cikal bakal Mamanda.
Aliran Tubau (lahir pada tahun 1937 M). Aliran
yang berasal dari Desa Tubau Rantau ini merupakan perkembangan baru dari
Mamanda yang kini justru sangat terkenal. Aliran ini berkembang pesat di
Kalimantan Selatan. Dalam pementasannya, cerita yang diangkat tidak bersumber
dari syair atau hikayat, namun dikarang sendiri dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Struktur pertunjukannya masih seperti teater pada umumnya,
yang dimulai dari ladon atau konom, sidang kerajaan, dan cerita. Pementasan
aliran ini tidak mengutamakan musik atau tari, namun lebih mengutamakan
bagaimana isi ceritanya. Aliran ini biasanya dipentaskan di daratan sehingga
juga dikenal dengan sebutan Mamanda Batubau.
Mamanda kini mengarah kepada perkembangan
kesenian yang lebih populer. Meski begitu, kekhasannya masih tetap terjaga,
terutama dalam hal penggunaan bahasa Banjar, simbolisasi nilai-nilai budaya,
dan pesan-pesan sosial yang disampaikannya. Struktur dan karakteristik yang
menjadi kekhasan Mamanda tidak pernah berubah. Perubahan yang terjadi biasanya
hanya pada soal busana, musik, improvisasi, dan ekspresi artistiknya.
Teater Mamanda ternyata tidak hanya berkembang di
Kalimantan Selatan, namun juga berkembang pesat di Kutai, Kalimantan Timur,
Indonesia. Sebagaimana akan dibahas di bagian akhir, Mamanda juga berkembang di
Kecamatan Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia.
Sebagai informasi singkat, perkembangan Mamanda di Tembilahan tidak terlepas
dari sejarah eksodus sebagian masyarakat Banjar ke daerah itu.
Bentuk-Bentuk Kesenian Mamanda
1. Struktur Pemain
Sebagaimana kesenian tradisional pada umumnya,
Mamanda merupakan ekspresi kesenian yang memperlihatkan sisi karakter pada
setiap lakon yang dipentaskan. Para pemainnya ada yang berperan sebagai tokoh
utama dan ada pula yang berperan sebagai tokoh pendukung. Peran pemain tokoh
utama harus ada pada setiap pertunjukan. Sedangkan peran pemain pendukung hanya
berdasarkan pada cerita yang mengharuskan kehadirannya. Artinya, kehadiran
pemain pendukung hanya ketika dibutuhkan saja.
Tokoh-tokoh utama yang diangkat dalam pementasan
Mamanda adalah sebagai berikut:
Sultan
Mangkubumi
Wazir
Perdana menteri
Panglima perang
Harapan I dan harapan II
Khadam/badut
Sandut/putri
Pemain yang memerankan tokoh sultan harus berperawakan
gagah, menarik, dan memiliki suara yang tegas. Peran mangkubumi adalah
menggantikan kedudukan sultan yang kebetulan sedang ada urusan di luar istana.
Wazir bertugas sebagai penasehat sultan. Perdana menteri biasanya memeriksa
pekerjaan harapan I dan harapan II. Harapan I dan harapan II bertugas menghias
dan mempersiapkan balai persidangan dan menjaga keamanan. Khadam/badut berperan
dalam memberikan hiburan segar kepada para penonton, terutama kepada
putri/sandut.
Tokoh-tokoh pendukung dalam pementasan Mamanda
adalah sebagai berikut:
Anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh
Anak muda
Dayang
Komplotan bial/penyamun
Raja jin
Orang miskin
Orang tua
2. Urutan Turunnya Pemain
Urutan turunnya pemain pada pementasan Mamanda
sudah tersusun secara rapi. Sebelum dilangsungkan sidang kesultanan, biasanya
pertunjukan Mamanda dimulai dengan acara baladon atau ladun, yaitu acara
pembukaan yang berisi tentang tari-tarian dan nyanyian. Pemain atau pelaku
ladun biasanya berjumlah ganjil, dan ada yang bertindak sebagai pemimpin atau
pengikutnya. Baru setelah itu para pemain turun ke pentas secara berurutan.
Berikut ini adalah urutan turunnya para pemain:
Harapan I dan harapan II
Harapan I dan harapan II muncul ke pentas
pertunjukan. Ketika baru sampai sepertiga arena, tepatnya di dekat meja sidang
kesultanan, mereka berhenti sejenak lantas menyebutkan nama, jabatan, dan
kemampuannya masing-masing.
Perdana menteri
Perdana menteri berhenti di belakang kedua
harapan tersebut. Perdana menteri menyebutkan nama dan jabatannya. Ia kemudian
memeriksa pekerjaan kedua harapan tersebut.
Sultan dan para staf
Setelah mendapatkan laporan dari perdana menteri,
sultan memasuki ruang sidang kesultanan. Ia diikuti oleh para stafnya, yaitu
mangkubumi, wazir, dan perdana menteri. Sesampainya di belakang meja
persidangan, sultan memukul-mukulkan tongkatnya sembari memuji segala pekerjaan
harapan I dan harapan II. Sultan kemudian mengungkapkan nama, jabatan, dan apa
saja seluruh kekuasaannya. Ia menyempatkan diri menyanyikan lagu yang isinya
memuji kesultanannya. Lagu-lagu tersebut misalnya:
a. Lagu Dua Mamanda Banyu
Batari yadan wayuhai lanya pangbastari yadan
sayang saying
Angkaumu dangar, kasian banarai barpai sayang
lanya pang barpari yadan sayang sayang
Salama saya dinagni pang dinagni
Salama lanya pang la sayang, yadan sayang sayang
Ramai bagaimana, ramai bagaimana, waduhai Ayahnda
Wazir nang kusayangi nagri, dalam lanya pang, la nagri yadan sayang sayang
Ramai bagaimana, Ayahnda, Mamanda Mangkubumi nang
kusayangi nagri di dalam lanya la nagri yadan sayang saya
b. Lagu Dua Mamanda Tubau
Aduhai wazir
Usullah Darmawan
Aduhai wazir
Usullah Darmawan
Cukup atawa bukan
Waduhai uang pemberian
Yalan yalan yalan
Dengan sabanar jua wayuhai nang
Lamak sadang mangatakan
Betalah mangatakan, katakan,
betalah mangatakan
Yalan yalan yalan
Setelah selesai bernyanyi dan menari-nari, sultan
pun memerintahkan para stafnya untuk ikut bernyanyi dan menari bersama. Suasana
sidang menjadi penuh dengan luapan kegembiraan. Sultan kemudian menyatakan rasa
terima kasih kepada semua pihak yang telah bergembira bersamanya.
Panglima perang
Jika ternyata sultan memiliki putra-putri, maka
mereka diharapkan agar datang ke sidang sebelum acara dimulai. Kedatangan
mereka ke dalam ruang sidang diiringi oleh dayang-dayang. Sultan kemudian
memerintahkan harapan I dan harapan II untuk menjemput panglima perang ke ruang
sidang kesultanan. Setelah acara sidang kesultanan selesai digelar, para pemain
kembali ke balairung seri yang letaknya tidak jauh dari pentas pertunjukan.
Ketika ada jeda waktu, biasanya acara pertunjukan bisa diisi dengan tari-tarian.
Pemain
Dalam bagian ini, para pemain yang akan
diturunkan disesuaikan dengan bagaimana isi jalannya cerita. Artinya, peran
mereka tidak perlu lagi didasarkan pada tradisi turunnya pemain dalam sidang
kesultanan yang sebelumnya telah usai digelar.
Anak Sultan Kurang Satu Empat Puluh
Bagian ini merupakan akhir dari pertunjukan
Mamanda. Acara yang digelar berupa babujukan, yaitu semacam acara peminangan
terhadap satu atau beberapa orang putri yang dilakukan oleh anak Sultan Kurang
Satu Empat Puluh. Acara ini dilakukan dengan nyanyian dan tarian, yang juga
diiringi dengan kata-kata rayuan.
Sebagai catatan tambahan, setiap pemain yang
diturunkan sering dimulai dengan penjelasan yang menggunakan monolog tertentu.
Monolog yang diucapkan masing-masing berbeda karena disesuaikan dengan lakon
yang diperankan. Monolog tersebut selalu menjelaskan nama, pangkat, kegagahan
diri, serta tugas dan kewajibannya masing-masing.
2. Bahasa
Bahasa dalam teater Mamanda digunakan sebagai
alat komunikasi untuk melakukan dialog, sehingga terjadi apa yang disebut
dengan alur cerita. Ada dua macam penggunaan bahasa dalam pertunjukan Mamanda,
yaitu:
Bahasa di dalam sidang kesultanan
Dialog dalam sidang ini biasanya menggunakan
bahasa Melayu dengan dialek dan struktur bahasa Belanda. Dipergunakannya dialek
dan struktur bahasa Belanda karena Mamanda lahir pada masa penjajahan Belanda.
Bahasa di luar sidang kesultanan
Di luar sidang kesultanan biasanya yang digunakan
adalah bahasa Banjar. Bahasa Banjar merupakan perpaduan antara bahasa Melayu
dengan bahasa Jawa Kuno.
3. Tata Busana
Busana yang digunakan dalam pertunjukan Mamanda
adalah busana suku Banjar. Busana ini terdiri dari busana adat, busana
kebesaran, dan busana sehari-hari golongan bangsawan atau sultan-sultan, orang
besar, orang terkemuka, dan rakyat jelata, yaitu sebagai berikut:
Laung (ikat kepala).
Kamban naga balimbur.
Seluar singkat berliris tepi.
Sabuk, yaitu berupa kain yang ditenun dan
bersulam emas, seperti sabuk ukal, sabuk miring, dan sabuk panjang di atas
lutut.
Baju, yang terdiri dari baju dalam dan baju luar
yang diberi sulam benang emas. Baju untuk pemain laki-laki dan pemain perempuan
dibedakan. Pemain perempuan biasanya mengenakan baju kurung dengan ketentuan
bahwa pada bagian dadanya tidak terbelah, pada bagian lehernya diberi lubang,
panjangnya hingga lutut, dan juga mengenakan sarung tangan kecil. Pemain
perempuan juga mengenakan kebaya panjang, dengan ketentuan ada sulam benang
emas pada pinggirnya, dan pada ujung lengannya disusun atau dipasang
manik-manik sebanyak tiga atau lima buah.
Di samping itu, juga dipergunakan perhiasan
Banjar, seperti:
Cucuk baju: pancar matahari, bulan saliris, dan
bulu ayam yang dibuat dari emas dan perak.
Gelang: gelang kelana, gelang jepon, gelang
marjan, dan gelang rantai.
Cucuk galing: daun, kembang sisir, dan kembang
goyang.
Kalung atau rantai, misalnya berupa kalung cekak,
kalung madapun, kalung marjan, dan tabu-tabu karawang.
Hiasan galung: kembang goyang dan untaian kembang
melati.
Cincin: cincin agar mayang, cincin batu, dan lain
sebagainya.
Rawing: rawing bulus, baitan, kili-kili, dan
bonil berumbai.
Secara khusus, berikut ini dijelaskan ciri-ciri
pakaian khas Banjar yang digunakan oleh para pemainnya, yaitu sebagai berikut:
Sultan
Sultan mengenakan seluar bersirit tepi, yaitu baju
yang disulam dengan manik-manik. Di bagian tengah tutup kepala dihiasi dengan
bulu burung putih sebagai mahkota sultan.
Perdana Menteri
Busana yang digunakan perdana menteri hampir sama
dengan busana sultan. Hanya saja, perdana menteri tidak menggunakan mahkota,
bahkan kadang tidak menggunakan tutup kepala sama sekali.
Wazir
Wazir biasanya mengenakan pakaian dalam yang
lebih panjang dari pakaian luarnya. Ia mengenakan penutup kepala yang tidak
bersegi, alias bulat.
Panglima Perang
Panglima perang mengenakan baju bermanik-manik,
yang dilengkapi dengan senjata pedang. Di bahunya diselendangkan teratai yang
terbuat dari benang emas. Tutup kepalanya berupa laung, bahkan kadang
mengenakan topi polisi saja.
Harapan I dan Harapan II
Harapan I dan harapan II mengenakan baju dalam
dan baju luar yang mirip dengan baju koboi, namun dengan ada sedikit
manik-maniknya. Mereka berdua menggunakan senjata dan penutup kepala.
Putri
Putri mengenakan kebaya atau kadang baju kurung
yang dilengkapi dengan mahkota di kepalanya.
Raja Jin
Raja jin biasanya mengenakan topeng. Jika tidak
ada, ia juga bisa membedaki wajahnya dengan arang atau kapur yang dicampur
denga pewarna merah kesumba.
Penyamun
Penyamun mengenakan sebuah topi yang mirip dengan
topi dalam pementasan teater di Barat. Di samping itu, ia juga mengenakan
kacamata berwarna hitam.
Anak Muda
Anak muda mengenakan kemeja putih dengan dasi
kupu-kupu warna hitam.
4. Tata Cara Pementasan
Pementasan teater rakyat Mamanda sebenarnya
sangat sederhana dan sifatnya spontan saja. Alat perlengkapan yang digunakan
pun juga sederhana, yang penting disesuaikan dengan tempatnya. Soal tempat bisa
dilakukan di mana saja, asalkan ada panggung pementasan dan ada tempat duduk
untuk para penontonnya. Tidak ada tempat duduk pun bisa jadi, asalkan ada suatu
sudut ruang yang bisa dijadikan sebagai tempat pementasan.
Alat perlengkapan yang digunakan biasanya hanya
berupa meja dan kursi, yang disusun rapi dan disesuaikan dengan bagaimana isi
atau cerita pertunjukannya. Kadang ada sekat yang memisahkan antara panggung
dan tempat duduk penonton, namun kadang pula tidak ada sekat sama sekali.
Struktur atau urutan pementasannya biasanya
dibuka dengan adanya bunyi-bunyian yang berfungsi sebagai pemberitahuan kepada
penonton bahwa pertunjukan akan dimulai. Pertunjukan di awal biasanya berupa
acara perkenalan dengan nyanyian dan tarian. Setelah itu lakon baru
dipertunjukkan. Proses penyajian lakon dilakukan secara berurutan yang
disesuaikan dengan jalan cerita. Penyajiannya tidak hanya berupa dialog dan laku,
namun juga diringi dengan tarian dan nyanyian. Tidak jarang cara penyajiannya
dibungkus dengan lawakan dan lelucon yang biasanya muncul secara spontan
sebagai bentuk kreativitas para pemainnya sendiri.
5. Sumber Cerita
Tipe cerita Mamanda biasanya berupa cerita
sejarah, romantis, kritik, sosial, dan penerangan. Inspirasi dalam penulisan
skenario cerita Mamanda biasanya disarikan melalui hikayat syair, kisah 1001
malam, buku-buku roman, buku-buku sejarah, cerita rakyat, dan berbagai
problematika kehidupan masyarakat. Melalui sumber-sumber tersebut, cerita
dikemas menjadi kisah hitam-putih, yang memberikan pesan kepada masyarakat atau
penontonnya untuk dapat membedakan mana kebaikan dan mana kejahatan. Sehingga,
masyarakat bisa mendapatkan pemahaman yang tuntas tentang isi ceritanya,
termasuk pesan baik yang ada di dalamnya.
6. Musik
Pengiring
Pementasan teater Mamanda diringi dengan musik
dan nyanyian. Musik pengiringnya bisa berupa pantun, syair, hikayat, dan dialog
tertentu yang disampaikan dengan cara dilagukan. Lagu-lagu yang sering
dinyanyikan dalam pementasan Mamanda adalah:
Lagu Dua Harapan
Lagu Dua Raja
Lagu Dua Gandut
Lagu Raja Sarik
Lagu Tarima Kasih (Sultan)
Lagu Baladun
Lagu Mambujuk
Lagu Danding
Lagu Nasib
Lagu Tirik
Lagu Japen
Lagu Mandung-mandungan
Lagu Stambul.
3. Nilai Budaya
Seni pertunjukan (teater) rakyat Mamanda tidak
hanya semata-mata hiburan saja. Ada sejumlah nilai budaya yang terkandung di
dalamnya. Sebagaimana pada umumnya, teater ini mencerminkan dan menyoal
kehidupan masyarakat. Menurut Hermansyah (2007), teater rakyat berfungsi bukan
saja sebagai media ekspresi diri para seniman teater ataupun sebagai tempat
hiburan bagi rakyat yang memerlukannya, melainkan juga sebagai alat pendidikan
bagi masyarakat di lingkungan sekitar. Dengan demikian, Mamanda juga dapat
berfungsi sebagai media pendidikan yang sangat berguna bagi masyarakat umum.
Cerita-cerita yang disajikan dalam pertunjukan
Mamanda selalu berisi tentang masalah-masalah dalam hidup umat manusia. Dari
cerita-cerita tersebut, kita dapat mengambil manfaat atau hikmah, yaitu
bagaimana kita mengenal sejarah kehidupan ini dan bagaimana kita mengambil
contoh kearifan hidup yang baik. Bahkan, cerita-cerita tersebut juga dapat
mengungkapkan alam pikiran masyarakat dan adat-istiadat lingkungannya. Artinya,
melalui pertunjukan kesenian ini, di samping dapat merasakan keindahan rasa
seninya, para penontonnya juga diajak untuk memahami pengalaman-pengalaman dan
sugesti-sugesti yang tersajikan bahwa segala bentuk perilaku yang jahat, tidak
baik, dan tidak jujur, pasti akan dikalahkan oleh kebenaran. Apa yang
tersajikan dalam teater Mamanda biasanya sering dijadikan sebagai panutan oleh
masyarakat dalam kehidupannya.
Teater Mamanda juga berfungsi sebagai media
kritik sosial. Pemain-pemain Mamanda sering melontarkan kritik dan sindiran
perihal kepincangan yang terjadi di masyarakat. Tentunya, kesenian ini
merupakan media yang sangat menarik untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Dengan
kata lain, kesenian Mamanda bisa berfungsi sebagai media demokratisasi yang
dipadukan dengan nilai-nilai budaya masyarakat.
4. Mamanda di Tembilahan
Teater rakyat Mamanda juga terkenal di Kecamatan
Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Bagaimana
kesenian pertunjukan Mamanda yang awalnya berasal dari Kalimantan Selatan itu
akhirnya dapat memasyarakat di daerah Tembilahan? Hal itu terjadi karena pada
akhir abad ke-19 ada sebagian masyarakat Suku Banjar dari Kalimantan Selatan
yang menjadi pendatang baru di wilayah Tembilahan, Indragiri Hilir.
Kehadiran Suku Banjar di Tembilahan tidak terjadi
begitu saja yang tanpa disebabkan adanya unsur manusia dan budayanya. Proses
eksodus masyarakat Suku Banjar ke Tembilahan dilatarbelakangi oleh situasi dan
masalah yang terjadi.
Suku Banjar yang menetap di Kabupaten Indragiri
Hilir terdiri dari sebelas anak suku, yaitu: Banjar Keluak, Banjar Amuntai,
Banjarnegara, Banjar Kandangan, Banjar Barabai, Banjar Kuala, Banjarmasin,
Banjar Pamengkeh, Banjar Martapura, Banjar Alabio, dan Banjar Rantau. Anak suku
Banjar Keluak, Banjar Amuntai, dan Banjar Kandangan merupakan anak suku
mayoritas yang mendiami Indragiri Hilir. Perpindahan masyarakat Suku Banjar
tersebut tentunya juga dibarengi dengan dibawanya kesenian Mamanda yang asalnya
dari Kalimantan Selatan yang kemudian dikembangkan di Tembilahan.
Para perantau Suku Banjar yang pertama telah
meninggalkan daerah asalnya (Kalimantan Selatan) sekitar tahun 1859. Perjalanan
mereka hingga sampai di Tembilahan memakan waktu yang sangat panjang. Apa
motivasi yang melatarbelakangi proses eksodus tersebut? Mereka ternyata sedang
dalam tekanan dari kolonialisme Belanda. Apalagi, pada tahun 1859, Belanda
telah menguasai Kerajaan Banjarmasin. Dampaknya, pemerintah Hindia Belanda
menerapkan sistem kerja yang disebut irakan, yaitu kerja paksa yang tidak dapat
diupahkan atau diwakilkan kepada orang lain. Karena tidak ingin ditindas oleh
penjajah Belanda, banyak masyarakat di sana yang kemudian melakukan eksodus ke
daerah lain, terutama ke Tembilahan.
Mengapa Tembilahan kemudian jadi pilihan tempat
eksodus mereka? Pada awal mulanya, diperkirakan mereka mendarat terlebih dahulu
di Malaysia dan Singapura. Berdasarkan Perjanjian London tahun 1824, kedua
wilayah tersebut resmi berada dalam kekuasaan Inggris. Mereka berpandangan
bahwa lebih baik hidup dalam kondisi penjajahan Inggris daripada penjajahan
Belanda yang dikenal sangat tidak manusiawi. Politik penjajahan yang dilakukan
Inggris lebih lunak dibandingkan dengan Belanda, sehingga mereka lebih dapat
merasakan kebebasan. Namun, mereka justru merasakan kehidupan yang tidak enak
di sana dan memutuskan untuk melanjutkan pengembaraan ke daerah lain, yaitu ke
Indragiri Hilir. Pada tahun 1885 M, mereka tiba di sana. Wilayah Perigi Raja
merupakan tempat singgah pertama mereka.
Salah satu suku di Tembilahan, Arbain, sebelum
tahun 1950 M (diprediksikan antara tahun 1947-1949) pernah mendirikan
Perkumpulan Mamanda Parit Empat Belas. Pada tahun 1950 M, Encik Arbain
menyerahkan kepemimpinan Mamanda Parit Empat Belas kepada Encik Usman Ancau.
Pada masa Encik Usman Ancau, Mamanda di Tembilahan berkembang pesat. Pada masa
itu, sumber cerita Mamanda masih berasal dari sastra lama, seperti dari hikayat
dan syair. Pada tahun 1960-an, mulai dibuat cerita sendiri yang sumbernya
didasarkan pada perkembangan kehidupan masyarakat ketika itu. Alat-alat musik
tradisonal yang biasa digunakan digabungkan dengan alat-alat musik modern,
seperti biola, gitar, dan akordion.
Ketika terjadi peristiwa 30 S/PKI/1965, aktivitas
kesenian mereka terpaksa harus terhenti. Pada tahun 1967 M, aktivitas Mamanda
Parit Empat Belas diaktifkan kembali oleh Encik Abdul Hamid. Sejak masa itu, di
Tembilahan juga berdiri 12 perkumpulan Mamanda. Namun demikian, lambat-laun
perkumpulan-perkumpulan tersebut menghilang. Hingga kini, perkumpulan yang
masih bertahan adalah Perkumpulan Mamanda Parit Empat Belas pimpinan Encik
Ardani dan Perkumpulan Mamanda Pulau Palas.
4.
Wayang
Kulit Banjar
Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan , telah
mengenal pertunjukan wayang kulit sekitar awal abad ke-XIV. Pernyataan ini
diperkuat karena pada kisaran tahun 1300 sampai dengan 1400, dimana Kerajaan
Majapahit telah menguasai sebagian wilayah Kalimantan (Tjilik Riwut, 1993), dan
membawa serta menyebarkan pengaruh agama Hindu dengan jalan pertunjukan wayang
kulit.
Konon pasukan Majapahit yang dipimpin oleh
Andayaningrat membawa serta seorang dalang wayang kulit bernama Raden Sakar
Sungsang lengkap dengan pengrawitnya, pegelaran langsung ( sesuai pakem tradisi
Jawa) yang dimainkannya kurang dapat dinikmati oleh masyarakat Banjar, karena
lebih banyak menggunakan repertoar dan ideom-ideom jawa, yang sulit untuk
dimengerti masyarakat setempat.
Pada saat memudarnya kerajaan Majapahit dan mulai
berdirinya kerajaan Islam (1526 M), pertunjukan wayang kulit mulai diadaptasi
dengan muatan-muatan lokal yang dipelopori oleh Datuk Toya, penyesuaian itu
terus berlangsung sampai abad ke-XVI, perlahan-lahan wayang kulit itu berubah,
dan sesuai dengan citra rasa dan estetika masyarakat Banjar.
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni
pertunjukan yang berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang
membedakannya dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk,
musik/gamelan pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun
tokoh-tokoh wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan
dari tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya
gunungan/kayon, Batara Narada, Arjunawijaya, jambu Leta Petruk,
Sarawita/Bilung, Subali, R.Hanoman,Prabu Rama, Kedakit Klawu atau Raksasa dan
lainnya.
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya
adalah kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang
dibudidayakan, maka bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari
kulit sapi bahkan adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk
dan fostur wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan
wayang kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan
pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar
"lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang
layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton
, karena dibatasi oleh layar.
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua
kitab kuno yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata.
Selain dari kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering pula
menampilkan cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut lakon Carang
adan dalam perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona
masyarakat Banjar. Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga berkembang
pertunjukan " Wayang Sampir" , nanggap wayang sampir untuk suatu
hajat tertentu disebut manyampir, merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang
untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya
diselenggarakan dalam bentuk pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan
pada kisaran dua jam dan kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya
diselenggarakan pada kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari
besar nasional, ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat
pertunjukan di tanah lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung
penonton, yang menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai
keinginannya. Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung,
lengkap dengan layar dan alat penerangan "blencong" , merupakan lampu
dengan sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak kelapa. Pada saat wayang
kulit dimainkan oleh dalang, blencong tersebut dipasang di belakang layar,
sehingga jatuhnya bayangan dari wayang kulit tepat pada layar . Di sisi kiri
dan kanan dalang dipasang barisan wayang kulit, sementara pada penabuh gamelan
duduk di belakang dalang sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki
tatacara tertentu. Mula-mula diserahkan piduduk (semacam sesajen) kepada guru
dalang untuk belajar. Bila murid sudah mengetahui pakem, tahu tentang tembang, mengetahui
tentang gamelan maka ia batamat dengan jalan upacara mandi yang disebut badudus
kemudian melakukan upacara pernapasan yang disebut bajumbang. Dalam kondisi ini
ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan wayang, ia harus mampu
mengucapkan Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan menyarung diri
(menitis) dengan Arjuna sebagai dalang sejati.
Sekarang Wayang Kulit Banjar , telah menjadi seni
pertunjukan yang berdiri sendiri dan memiliki ciri-ciri spesifik yang
membedakannya dengan jenis wayang kulit lainnya, baik dari segi bentuk,
musik/gamelan pengiring, warna , ataupun tata-cara memainkannya, walaupun
tokoh-tokoh wayang cenderung mengikuti pakem pewayangan dan juga dikembangkan
dari tokoh dan perlambang masyarakat Banjar , seperti terdapatnya
gunungan/kayon, Batara Narada, Arjunawijaya, jambu Leta Petruk,
Sarawita/Bilung, Subali, R.Hanoman,Prabu Rama, Kedakit Klawu atau Raksasa dan
lainnya.
Bahan untuk membuat wayang kulit di Jawa biasanya
adalah kulit/tulang kerbau, mengingat pada saat itu kerbau kurang
dibudidayakan, maka bahan untuk membuat wayang kulit Banjar ini berasal dari
kulit sapi bahkan adapula yang terbuat dari kulit kambing. Secara umum bentuk
dan fostur wayang kulit Banjar relatif lebih kecil apabila dibandingkan dengan wayang
kulit yang asal dari Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen), dan
pengecatannya lebih sederhana, mengingat dalam pegelaran wayang kulit Banjar
"lebih diutamakan oleh bayangan berdasarkan penglihatan dari belakang
layar" , sehingga ornamen, detail dan warna ,kurang terlihat oleh penonton
, karena dibatasi oleh layar.
Cerita wayang kulit Banjar bersumber dari dua
kitab kuno yang berasal dari khasanah Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata.
Selain dari kedua cerita tersebut , dalang wayang kulit Banjar sering pula
menampilkan cerita karangan/ gubahan sendiri yang mereka sebut lakon Carang
adan dalam perkembangannya lakon Carang inilah yang menjadi primadona
masyarakat Banjar. Selain lakon Carang , di Kalimantan Selatan juga berkembang
pertunjukan " Wayang Sampir" , nanggap wayang sampir untuk suatu
hajat tertentu disebut manyampir, merupakan ritual yang dipimpin oleh dalang
untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia, dan biasanya
diselenggarakan dalam bentuk pagelaran padat dengan jangka waktu pelaksanaan
pada kisaran dua jam dan kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.
Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya
diselenggarakan pada kesempatan khitanan, upacara perkawinan adat, hari-hari
besar nasional, ataupun untuk memenuhi nazar seseorang, dengan tempat
pertunjukan di tanah lapang, halaman kantor/ rumah yang dapat menampung
penonton, yang menyaksikannya dengan berdiri , duduk ataupun lesehan sesuai
keinginannya. Pertunjukan wayang kulit Banjar biasanya di atas panggung, lengkap
dengan layar dan alat penerangan "blencong" , merupakan lampu dengan
sumbu api dengan bahan bakarnya dari minyak kelapa. Pada saat wayang kulit
dimainkan oleh dalang, blencong tersebut dipasang di belakang layar, sehingga
jatuhnya bayangan dari wayang kulit tepat pada layar . Di sisi kiri dan kanan
dalang dipasang barisan wayang kulit, sementara pada penabuh gamelan duduk di
belakang dalang sambil memainkan alat musiknya masing-masing.
Pengetahuan untuk menjadi dalang memiliki
tatacara tertentu. Mula-mula diserahkan piduduk (semacam sesajen) kepada guru
dalang untuk belajar. Bila murid sudah mengetahui pakem, tahu tentang tembang,
mengetahui tentang gamelan maka ia batamat dengan jalan upacara mandi yang
disebut badudus kemudian melakukan upacara pernapasan yang disebut bajumbang.
Dalam kondisi ini ia (calon dalang) kawin dengan Arjuna. Sebelum memainkan
wayang, ia harus mampu mengucapkan Bisik Semar (mantera sebelum mendalang) dan
menyarung diri (menitis) dengan Arjuna sebagai dalang sejati.
5.
Wayang
Gong
Wayang Gong adalah seni pertunjukan sejenis
wayang orang. Pertunjukan ini mengangkat cerita dari pakem Ramayana versi
Banjar. Wayang ini dimainkan dengan pengolahan vokal pemain dan ditambah basik
tari dalam lakon yang terdiri dari beberapa tilisasi. Tak hanya itu, pemain
diiringi musik gamelan, elemen dramatik dan kating tari yang diiringi bunyi
tambahan seperti ketopong yang membuatnya makin khas. Para pemain dirias
sebagaimana layaknya tokoh yang ada di dalam kisah Ramayana.
Menurut pakar Wayang Gong Banjar, Zulfansyah
Bondan, kesenian ini di era 1960 – 1970an mendapat respon yang bagus dari
generasi muda saat itu, namun dalam tiga dasawarsa terakhir yakni sekitar tahun
2000an kesenian ini mengalami kemunduran dan nyaris punah. Dikatakan nyaris
punah karena kesenian ini sudah jarang dimainkan. Salah satu kesenian tertua di
Kalimantan Selatan ini kini hanya menunggu kepunahannya saja karena
kelompok-kelompok yang memainkan kesenian ini sudah tak banyak lagi.
Dulu, kesenian ini sering dimainkan saat acara adat
dan seni pertunjukan sosial kemasyarakatan seperti Mawlid Nabi, saprah amal,
hajatan hingga nazar pasca panen padi. Namun sekarang sudah jarang dimainkan.
Beruntung masih ada salah satu sanggar seni yang
masih eksis memainkan kesenian ini walaupun insidential. Sanggar seni Ading
Bastari, Barikin (HST) yang di pimpin A.W. Syarbaini lah yang membuat kesenian
ini masih bertahan, walaupun dalam kondisi yang tak memungkinkan.
Dulu wayang gong dimainkan semalaman suntuk, sama
halnya dengan wayang kulit banjar. Setiap lakon atau tokoh biasanya disertai
dengan menambang atau nembang yang dibawakan oleh sinden. Sekarang agar tidak
ditinggal oleh para penontonnya, permainan dipersingkat hingga sekitar 3 - 4
jam saja. Pada Wayang Gong, sekitar 10 orang yang memainkan alat musik
tradisional, yang terdiri dari babun, gong besar dan kecil, sarun besar dan
kecil, kenong dan lima alat.
Pada saat memulai pertunjukan, terlebih dahulu
dilakukan mamucukani, yakni tiga dalang membuka pagelaran untuk menyampaikan
cerita apa yang akan dimainkan. Layaknya seperti sinetron di televisi, dari
pemain utama hingga pemain pendukung disampaikan lebih dahulu kepada penonton.
Saat ini hanya sanggar seni Ading Bastari yang
memainkan kesenian wayang gong ini, karena saat ini nyaris tidak ada lagi
sanggar seni lain yang memainkan salah satu kesenian tertua ini. Kalaupun ada,
hanya dilakukan dengan cara ”bon”. Artinya para pemain diambil dari berbagai
kelompok seni daerah dengan sistem cabutan. Misalnya mengambil pemain dari
kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara dan
Kabupaten Tapin.
6.
Musik
Panting
Pada awalnya musik Panting berasal dari daerah
Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik yang
berbentuk seperti gambus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada waktu dulu
musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara solo. Karena
semakin majunya perkembangan zaman dan musik Panting akan lebih menarik jika
dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka musik panting sekarang ini dimainkan
dengan alat-alat musik seperti babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri
dari beberapa orang. Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu
sendiri, karena pada musik Panting yang terkenal alat musiknya dan yang sangat
berperan adalah Panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang
yang pertama kali memberi nama sebagai musik Panting adalah A. Sarbaini. Dan
sampai sekarang ini musik Panting terkenal sebagai musik tradisional yang
berasal dari Kalimantan Selatan.
Pada umumnya orang yang memainkan musik Panting
adalah masyarakat Banjar. Tokoh yang paling terkenal sebagai pemain Panting
adalah A. Sarbaini. Dan ada juga grup-grup musik Panting yang lain. Tetapi
sekarang ini seiring dengan adanya perkembangan zaman grup musik Panting
menjadi semakin sedikit bahkan jarang ditemui.
Alat-alat musik Panting terdiri dari :
Panting, alat musik yang berbentuk seperti gabus
Arab tetapi lebih kecil dan memiliki senar. Panting dimainkan dengan cara
dipetik.
Babun, alat musik yang terbuat dari kayu
berbentuk bulat, ditengahnya terdapat lubang, dan di sisi kanan dan kirinya
dilapisi dengan kulit yang berasal dari kulit kambing. Babun dimainkan dengan
cara dipukul.
Gong, biasanya terbuat dari aluminium berbentuk
bulat dan ditengahnya terdapat benjolan berbentuk bulat. Gong dimainkan dengan
cara dipukul.
Biola, sejenis alat gesek.
Suling bambu, dimainkan dengan cara ditiup.
Ketipak, bentuknya mirip tarbang tetapi ukurannya
lebih kecil, dan kedua sisinya dilapisi dengan kulit.
Tamburin, alat musik pukul yang terbuat dari
logam tipis dan biasanya masyarakat Banjar menyebut tamburin dengan nama
guguncai.
Menurut cara penyajiannya Panting termasuk jenis
musik ansambel campuran. Karena terdiri dari berbagai jenis alat musik. Dalam
pertunjukan musik Panting, biasanya jumlah pantingnya sebanyak 3 buah dan
ditambah alat-alat musik lainnya. Musik panting disebut juga dengan nama japin
apabila penyajiannnya diiringi dengan tarian. Musik panting disajikan dengan
lagu-lagu yang biasanya bersyair pantun. Pantun tersebut berisi nasihat ataupun
pantun petuah, dan pantun jenaka. Lagu yang dinyanyikan monotor, yang artinya
musik tersebut dinyanyikan tanpa ada reff. Pemain musik Panting memainkan musik
tersebut dengan cara duduk, para pemain laki-laki duduk dengan bersila,
sedangkan pemain perempuan duduk dengan bertelimpuh. Para pemain musik Panting
pada umumnya mengenakan pakaian Banjar. Yang laki-laki mengenakan peci sebagai
tutup kepala sedangkan pemain perempuan menggunakan kerudung.
Musik Panting mempunyai fungsi sebagai :
Sebagai hiburan, karena musiknya dan
syair-syairnya yang kadang-kadang jenaka dan dapat menghibur orang banyak. Oleh
karena itu, musik panting sering digunakan pada acara perkawinan.
Sebagai sarana pendidikan, karena di dalam musik
Panting syainya berisi tentang nasihat-nasihat dan petuah.
Sebagai musik yang memiliki nilai-nilai agama,
karena musik-musiknya mengandung unsur-unsur agama.
A.
Pakaian Adat
Kalimantan Selatan
1. Asal Usul
Suku banjar di Kalimantan Selatan
terdiri dari 3 subtenis berbeda, yakni Pahuluan, Batang Banyu, dan Kuala.
Ketiga subtenis ini disebut dengan orang Banua dan dikenal memiliki kreasi
kebudayaan yang unik dan penuh makna, salah satunya tercermin dalam buasana
adat pengantin. Baik di kampung maupun di kota, busana adat pengantin Banjar
masih digunakan dalam perhelatan pernikahan mereka.Meskipun busana adat
tersebut telah mengalami penambahan mode dan assesoris, namun realitas ini
mencerminkan bahwa orang banjar masih peduli dalam menjaga tradisi leluhur
mereka.
Menurut sejarahnya, secara umum
busana adat pengantin Banjar terdiri dari tiga jenis, yaitu Bagajah Gamulung
Baular lulut, Baamar Galung Pancaran Matahari, dan Babajukun Galung Pacinan.
Akan tetapi, secara khusus, sebagian orang menyebut ada empat jenis, yaitu
dengan tambahan Babaju Kubaya Panjang. Busana jenis keempat ini merupakan
perkembangan busana adat pengantin Banjar di era modern dan biasanya dengan
tambahan jilbab untuk pengantin perempuannya.
Ketiga jenis busana adat
pengantin ini memiliki asal usul yang berbeda jauh, baik dari sisi wujud
assesoris, warna, tata cara pemakaian, maupun makna simbolnya. Perbedaan ini disebabkan
oleh perbedaan terciptanya ketiga busana tersebut. Terlepas dari kontroversi
yang ada, perbedaan perbedaan ini menunjukkan bahwa leluhur Banjar memiliki daa
cipta yang kaya. Busana adat pengantin Banjar menjadi ciri identitas kebudayaan
orang Banjar yang berkepribadian terbuka terhadap perkembangan zaman.
Busana adat pengantin jenis
Bagajah Gamuling Baular Lulut menurut sejarah diciptakan leluhur Banjar sekitar
abad ke 15-16 M dan dianggap sebagai busana adat pengantin yang pertama. Busana
adat jenis ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu yang tercermin dari pengantin
laki-laki yang hanya bertelanjang dada. Busana jenis yang sama juga dapat
dilihat dari daerah Jawa, Bali, Dayak, atau Lombok. Dalam sejarahnya,
daerah-daerah tersebut juga mendapatkan pengaruh kebudayaan Hindu.
Berbeda dengan jenis yang
pertama, busana adat pengantin jenis Baamar Galung Pancaran Matahari dipercaya
telah diciptakan oleh leluhur pada abad ke 17-18 M. Busana pengantin jenis ini
dipercaya sebagai busana Banjar kedua yang dipengaruhi kebudayaan Hindu dan
Islam. Hal ini dikarenakan pada abad tersebut Islam mulai masuk ke wilayah
Banjar.
Sementara itu, busana adat
pengantin jenis Babakun Galung Pacinan dipercaya telah tercipta pada abad ke 19
M. Busana jenis ketiga ini dipengaruhi oleh budaya Arab dan Tiongkok. Hal ini
terlihat dari wujud busana dan nama Pacinan. Pada abad tersebut, suku Arab dan
Cina banyak bermukim di Banjar dan berbaur dengan masyarakat asli Banjar. Dalam
kehidupan bermasyarakat terjadi akulturasi perilaku diantara sesama penduduk
Banjar.
Dari semua jenis busana adat
pengantin Banjar, jenis Baamar Galung Pancaran Matahari adalah yang paling
populer dan digemari masyarakat karena wujudnya tampak mewah dan bewibawa jika
dipakai, apalagi saat ini sudah dimodifikasi dengan assesoris modern, sepert
mahkota yang dibuat mewah. Meskipun demikian, sebuah keluarga Banjar yang akan
menggelar pernikahan akan memilih salah satu dari tiga jenis busana tersebut.
Pemilihan busana biasanya
didasarkan pada kesukaan, biaya yang mereka mampu, serta pola pikir mereka (ada
yang sederhana dan ada yang mau mengikuti adat seluruhnya). Menurut para
perias, pemilihan ini dapat terjadi karena perbedaan selera masyarakat. Selain
itu, hal ini justru memudahkan orang Banjar yang ingin menikah, karena mereka
memiliki banyak pilihan busana adat yang bagus dan bersahaja.
2. Jenis dan Bentuk Busana
a. Jenis
Bagajah Gamuling Baular Lulut
1).
Pengantin laki-laki
Busana
jenis ini untuk pengantin laki-laki terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota
terbuat dari logam bundar berbentuk dua ekor ular lidi yang melingkar dan
kepalanya saling bertemu
Baju
poko berupa kemeja lengan pendek tanpa kerah. Baju ini merupakan modifikasi
sekarang, karena aslinya pengantin laki-laki hanya bertelanjang dada
Selawar
(celana panjang), tingginya lebih kurang 10 cm di atas mata kaki dengan bentuk
kecil bagian bawah, lalu diberi hiasan motif pucuk rebung dari amnik-manik dan
mote-mote
Tapih
(sabuk pendek) bermotif khas binatang halilipan dalam posisi merayap ke bawah
berhias sulaman benang emas dan manik-manik atau mote
Warna
busana kuning cerah, merah atau hijau
Hiasan
berupa kalung samban, kilat bahu garuda mungkur paksi sedang melayang, pending
atau ikat pinggang emas dengan kepala motif gula kelapa, dan keris pusaka khas
Banjar berbentuk sempana
Hiasan
bunga-bunga dari daun nyiur berbentuk halilipan, karang jagung berbentuk
belalai gajah yang dipasang di badan bagian depan, mawar dan melati kuncup yang
diuntai, dan bunga keris.
2).
Pengantin perempuan
Busana
jenis ini untuk pengantin perempuan terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota
terbuat dari logam bundar berbentuk dua ekor ular lidi yang melingkar dan
kepalanya saling bertemu. Pada bagian depan diletakkan amar atau mahkota
berbentuk kepala ular naga berebut kumala. Sementara itu, pada bagian ekor
ular, diletakkan hiasan garuda mungkur paksi ketika melayang. Pada sekeliling
mahkota, diberi hiasan kembang goyang yang berjumlah ganjil
Sanggul
dengan rambut yang dihias kembang goyang dan untaian kuncup kembang melati
Udat
atau kemben sebagai penutup dada yang dihias manik-manik. Namun, saat ini sudah
dimodifikasi dengan torso (penutup kepala yang sudah jadi)
Selendang
sebagai penutup punggung bagian belakang dan dada
Kida-kida
atau hiasan berbentuk bulat segilima penutup dada
Kayu
apu, kain untuk ikat pinggang
Tapih
berupa sarung panjang dengan motif khas halilipan berhias sulaman benang emas
dan manik-manik
Hiasan
kembang goyang, bonel (anting beruntai panjang), kalung kebun raja, kalung
samban pedaka, pending (ikat pinggang), gelang tangan, cincin permata, gelang
kaki, dan selop tutup (pada mulanya tanpa kaki)
Bunga
berupa karang jagung, anyaman janur, mawar dan melati wungkul, malai depan
(kalung dari mawar), bunga tangan berupa hiasan bunga dan daun sirih, untaian
melati, mawar, dan cempaka.
b.
Jenis Baamar Galung Pancaran Matahari
1).
Pengantin laki-laki
Busana
jenis ini untuk pengantin laki-laki terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Laung
atau destar
Baju
dalam atau kemeja putih lengan panjang berenda
Jas
buka tanpa kancing
Celana
panjang
Sabuk,
sarung, atau tapih pendek bermotif khas binatang halilipan yang disulam benang
emas
Tali
wenang yaitu kain berwarna kuning sebagai ikat pinggang di atas sabuk
Selop
tutup berhias sulaman benang emas dan manik-manik
Kembang
untuk kalung dari mawar dan kembang diuntai untuk hiasan keris
Hiasan
berupa kalung emas pancaran matahari, keris pusaka khas Banjar berbentuk
sempana, gelang kaki berbentuk akar tatau, dan cincin permata.
2).
Pengantin perempuan
Busana
jenis ini untuk pengantin perempuan terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota
amar galung pancaran matahari berupa permata yang tengahnya bermotif buah nanas
dan matahari
Sanggul
berbentuk bulan sabit
Baju
poko lengan pendek tanpa kerah dan pada ujung lengan dihias manik-manik serta
rumbai-rumbai
Kida-kida
penutup dada berbentuk bulat segilima
Kayu
apu sabuk selebar lebih kurang 15-20 cm yang berfungsi menutup baju poko dan
sarung
Tapih
atau sarung panjang motif khas binatang halilipan
Hiasan
berupa kembang goyang berumpun sebanyak 11-13 kuntum, sisir emas berbentuk
melati dengan lima kelopak, anting beruntai panjang, kalung cikak, kalung kebun
raja, kalung bentuk biji kurma, ikat pinggang emas, kilat bahu berbentuk garuda
paksi, gelang tangan berbentuk kembang jepun, cincin berbentuk pagar mayang,
gelang kaki, dan selop tutup bersulam benang emas
Bunga-bunga
berupa karang jagung berjumlah ganjil, kalung dari bunga mawar dan melati yang
sedang kuncup, daun sirih buah tangan yang terbuat dari daun sirih dan dihias
dengan bunga mawar, janur, serta bunga kenanga yang diuntai.
c.
Jenis Babajukun Galung Pacinan
1).
Pengantin laki-laki
Busana
jenis ini untuk pengantin laki-laki terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Kopyah
alpe setinggi 15 cm berlilitkan surban dan dihias dengan untaian bunga melati
yang kuncup
Baju
gamis dan jubah
Selempang
berupa kain panjang bersulam benang emas
Selop
tutup bersulam benang emas
Hiasan
kalung rantai dari emas, kalung permata yang dirajah ayat Al quran, dan cincin
bermata satu dari zamrud.
Kembang
tangan.
2).
Pengantin perempuan
Busana
jenis ini untuk pengantin perempuan terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Mahkota
berbentuk setengah lingkaran bertahtakan permata
Sanggul
galung pacinan berbentuk bulat
Kebaya
lengan panjang berbentuk cheong sam dan berkerah shanghai, bersulam benang emas
dengan motif bunga teratai. Kebaya dipasangkan dengan rok besar berhias sulaman
motif Cina dengan taburan manik-manik
Hiasan
berupa kembang goyang berumpun sebanyak sepuluh kuntum, tusuk konde berbentuk
huruf Lam dengan permata batu mulia, tusuk bunga lima buah, tusuk konde
berbentuk burung hong beruntai manik-manik 2-4 buah berhias permata, kalung
kebun raja dari emas atau permata, kalung rantai panjang, anting-anting, gelang
tangan permata, gelang kaki berbentuk belah rotan, cincin permata, dan sisir
emas dua buah.
Bunga-bunga
berupa karang jagung tiga buah, sisir melati lima buah, dan bunga tangan.
d.
Jenis Babaju Kubaya Panjang
Jenis baju adat Kalimantan selatan yang
disebut babaju kubaya panjang merupakan modifikasi dari baju adat Kalimantan
Barat yang 3 diatas. Disebut dengan babaju kubaya panjang karena busana
pengantin ini menggunakan kebaya panjang.
3.
Nilai
Nilai
Keunikan
dan keanggunan busana adat pengantin Banjar, Kalimantan Selatan, sarat akan
nilai-nilai penting dalam kehidupan orang Banjar, antara lain:
Simbol.
Nilai ini tampak dari beragam hiasan yang memenuhi tiga jenis busana adat
pengantin Banjar. Simbol ular naga pada mahkota misalnya, dianggap orang Banjar
sebagai simbol tingginya derajat pemakainya, karena naga dipercaya sebagai raja
ular. Ular lidi menyimbolkan kecerdikan namun tetap rendah hati. Burung garuda
paksi sedang terbang melayang menyimbolkan ketangkasan. Bunga mawar
melambangkan keberanian, melati melambangkan kesucian, dan melati yang kuncup
melambangkan bahwa pengantin perempuan masih gadis (perawan). Sementara itu,
binatang halilipan melambangkan sifat rendah hati, jujur, tidak akan mengganggu
orang lain kecuali jika diganggu lebih dahulu. Semua simbol-simbol ini
dimaksudkan agar kedua mempelai (juga semua orang) mengambil maknanya lalu
mengaplikasikan pada dirinya.
Seni.
Nilai ini tercermin jelas dari wujud ketiga busana adat pengantin yang
diciptakan begitu indah dan detil. Sebuah hasil karya yang indah, detil, dan
terlihat mewah tentunya membutuhkan kreatifitas seni yang tinggi, tanpa itu
semua, maka busana-busana tersebut tidak akan menjadi busana adat. Nilai seni
ini juga terlihat dari beragam hiasan yang menempel pada busana, mahkota, dan
ikat pinggang yang semuanya terlihat mewah dan semakin membuat elegan
pemakainya. Pemakaian warna dan benang emas menjadikan busana-busana tersebut
terlihat mahal dan megah.
Filosofis.
Nilai ini terekam dari makna simbol yang terdapat pada ketiga jenis busana
adat. Dari nilai inilah masyarakat Banjar meletakkan busana adat pengantin
mereka sangat berharga sehingga mereka menggunakannya untuk perhelatan upacara
pernikahan. Dalam konteks ini, nilai filosofis menjadi penguat dan pendorong
masyarakat Banjar dengan hasil budaya leluhur mereka.
Pelestarian
budaya. Sebagai sebuah hasil karya leluhur, maka menggunakan busana adat
pengantin dalam setiap perhelatan pernikahan merupakan sebuah upaya nyata
terhadap pelestarian budaya. Hal ini sepertinya telah dilakukan oleh para
generasi muda Banjar yang peduli terhadap budaya mereka, yaitu dengan
memodifikasi busana adat pengantin mereka namun tetap tidak meninggalkan unsur
aslinya.
Identitas
dan solidaritas sosial dan budaya. Busana adat pengantin Banjar adalah satu
penanda identias kebudayaan Banjar. Dengan menggunakan busana adat dalam
pernikahan, secara imajinatif menjadikan orang Banjar merasa memiliki identitas
sosial dan budaya yang kuat dan berbeda dengan suku bangsa lain di negeri.
Melalui imajinasi ini, jika sesama orang Banjar bertemu dalam sebuah acara
kebudayaan atau pernikahan Banjar, maka akan menambah rasa solidaritas mereka
antarsesama orang Banjar. Dalam konteks ini, busana adat telah menjadi media
positif bagi persatuan dan kesatuan masyarakat. Hal ini tinggal menjadi tugas
budayawan dan pemerintah Banjar untuk memanfaatkannya.
A.
Alat
Musik Tradisional Kalimantan Selatan
1. Kintung
Kintung adalah alat musik tradisional yang berasal
dari Provinsi Kalimantan Selatan. Alat musik kintung dipergunakan untuk
mengiringi pertunjungan musik kintung. Adapun bentuk alat musik tradisional ini
mirip dengan alat musik angklung / calung dari Jawa Barat, yaitu dari bambu dan
dibunyikan dengan cara dipukul. Untuk mengatur bunyi tergantung pada rautan
bagian atasnya hingga melebihi dari seperdua lingkaran bambu. Rautan itu makin
ke atas semakin mengecil sebagai pegangannya. Sedang bagian bawahnya tetap
seperti biasa. Panjangnya biasanya dua ruas, dan buku yang ada di bagian
tengahnya (dalam) dibuang agar menghasilkan bunyi. Pengaturan bunyi biasanya
tergantung pada rautan bagian atasnya. Semakin dibuang atasnya itu akan
menimbulkan nada yang lebih tinggi.
2. Kalang Kupak
Kalang Kupak adalah alat musik tradisional dari
Kalimantan Selatan yang juga dibuat dari bambu, biasanya dari jenis bambu
tamiang. Sama halnya dengan kintung, Kalang Kupak terdiri dari 8 ruas bambu
yang masing-masing dipotong setengahnya dan meruncing di bagian ujung.
Ruas-ruas bambu tersebut kemudian disatukan dengan serat rotan hingga bentuknya
menyerupai calung dari Jawa Barat. Kalang Kupak berperan sebagai pembawa
melodi, dimainkan bersama alat musik agung (gong), babun (gendang), lumba
(gendang), dan kecapi untuk mengiringi upacara adat Balian, yaitu upacara
keselamatan bagi kehidupan masyarakat setempat yang dilaksanakan setiap tahun
dan untuk mengiringi tarian adat, seperti tari Gintor.
3. Kurung-Kurung
Kurung-kurung
adalah alat musik tradisional yang berasal dari Kabupaten Balangan Provinsi
Kalimantan Selatan. Alat musik Kurung - kurung ini terbuat dari kayu panjang
dan dibawahnya terbuat dari bambu dan peralatan lainnya. Musik ini bisa
mengeluarkan bunyi setelah dihentak-hentak dulu ke tanah dan setiap alat musik
mengeluarkan bunyi berbeda satu sama lain, sehingga bila pemainnya ingin
menciptakan irama, maka caranya menghentakan alat itu secara bergantian sesuai
irama yang dikehendaki
4.
Bumbung
Alat musik bumbung dibuat dari bambu, merupakan alat
musik tradisional Kalimantan Selatan. Bumbung sendiri berawal dari
bumbung “Bumbung lamang” (Beras ketan yang dibakar dalam bumbu) yang
dimodifikasi menjadi alat musik diatonik, terdiri dari 7 nada dasar. Untuk
membuat alat musik bumbung biasanya terbuat dari 2 ruas bambu.
5. Kuriding/Guriding
Alat musik
Kuridin adalah alat musik tradisional Kalimantan Selatan yang terbuat dari
Bambu. Nama Penamaan Kuridin diberikan oleh Penduduk Hulu Sungai Tengah dan
Desa Harakit Kabupaten Tapin. Lain lagi dengan penduduk Kelurahan Ulu Banteng
Kecamatan Bakupai Kabupaten Barito Kuala, alat musik ini disebut Guriding.
Suku Banjar
di Kalimantan Selatan memiliki alat musik tradisional yang unik dan sakral
bernama guriding, karena perbedaan bahasa beberapa daerah menyebut kuriding.
Unik karena alat musik ini berbentuk kecil namun dapat mengeluarkan bunyi yang
nyaring, sedangkan sakral karena berlatarbelakang mitos kemunculan macan yang
hingga sekarang masih dipercaya oleh masyarakat Banjar. Terlepas dari
kontroversinya, guriding menjadi penanda budaya orang Banjar yang penting untuk
dikaji dan dipelihara.
Menurut
cerita masyarakat, guriding pada awalnya adalah milik seekor macan yang tinggal
di hutan Kalimantan Selatan. Pada suatu hari, sang macan meminta anaknya untuk
memainkan guriding. Namun, tiba-tiba ilat (alat getar) guriding tersebut patah
dan menusuk tenggorokan sang anak hingga mati. Semenjak kejadian tersebut, sang
macan menasehatkan kepada anak keturunannya agar tidak lagi membunyikan
guriding (Mohammad Saperi Kadir, 1985/1986).
Kadir
(1985/1986) menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasar cerita di atas, dalam
perkembangannya masyarakat Banjar meyakini bahwa guriding adalah alat ampuh
untuk mengusir macan yang sering berkeliaran di kampung mereka. Bagi masyarakat
yang tingggal di sekitar hutan dan persawahan, mereka selalu membunyikan
guriding dan tidak jarang mereka juga menggantungkan atau meletakkannya di atas
tempat tidur anak mereka. Menurut Tadjudin Noer Gani (2007), sebagian
masyarakat juga meyakini bahwa untuk membunyikan guriding diperlukan sebuah
nyanyian, selain sebagai pengiring juga sebagai mantra.
Orang Banjar
memiliki kebudayaan yang kaya, namun terkadang mereka kesulitan untuk
memeliharanya (Suriansyah Ideham dkk, 2005). Saat ini, guriding masih sering
dibunyikan, khususnya oleh orang-orangtua Banjar sebagai alat hiburan di kala
sendiri dan melepas lelah usai bekerja di kebun atau hutan. Beberapa keluarga
bahkan masih menyimpan guriding di rumah-rumah mereka, meski tujuannya tidak
untuk melindungi anak mereka dari ancaman macan. Mereka menganggap bahwa
guriding adalah tradisi budaya yang perlu untuk dilestarikan, sambil
mengajarkan kepada generasi muda untuk mencintai budaya leluhur.
2. Bentuk
Guriding
Guriding
atau kuriding memiliki bentuk yang kecil dan unik. Wujudnya terbagi dalam dua
bagian, yaitu dalam (tidak rata) dan luar (rata). Bagian dalam adalah bagian
yang ditempelkan ke mulut ketika dibunyikan, sebaliknya bagian luar adalah yang
menghadap ke luar.
Guriding
terbuat dari bambu atau kayu dan berbentuk empat persegi panjang yang kedua
ujungnya dibuat bulat. Selain untuk memperindah, bentuk bulat ini ditujukan
agar guriding tidak melukai mulut ketika dibunyikan. Pada badan guriding
terdapat alat getar, yakni tali yang terbuat dari serat pohon kayu atau senar.
Alat getar tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu sebelah kanan (ilat) dan
kiri (butuh).
Pada ujung
kana dan kiri guriding terdapat lubang untuk meletakkan tali (tatarikan) yang
terhubung dengan alat getar. Ketika tali tersebut ditarik, maka alat getar
tersebut akan berbunyi, sambil ditempelkan pada mulut. Bunyi guriding akan
terasa nyaring jika tali ditarik dengan ritme yang benar.
3.
Bahan-bahan dan Alat-alat Pembuatan
Bahan-bahan
yang diperlukan untuk membuat guriding cukup sederhana, yaitu meliputi bambu
(paring); kayu bangaris; pelepah daun sirang; pelepah enau, tali atau senar
untuk alat getar, tali untuk penarik, dan potongan bambu kecil untuk memudahkan
ketika ditarik. Sementara itu, alat-alat yang digunakan untuk membuat guriding
meliputi gergaji untuk memotong bambu atau kayu dan pisau kecil untuk
menghaluskan bambu dan memotong tali serta melubangi.
4. Proses
Pembuatan
Proses
pembuatan guriding cukup sederhana. Langkah pertama adalah memilih bambu atau
kayu yang agak tua agar guriding kuat dan tidak mudah patah. Selanjutnya bambu
atau kayu dipotong sepanjang 15-20 cm dan dihaluskan dan dibuat ukuran tebal
0,5 cm dan lebar 2 cm. ukuran ini dianggap tepat - berdasar turun temurun-
untuk menghasilkan guriding yang enak dipegang dan dimainkan.
Bagian
guriding selanjutnya dibagi dua, kanan dan kiri. Pada bagian kanan dipasang
alat getar (ilat) dan bagian kiri dipasang alat getar (butuh). Bambu pada
bagian ini dibuat agak tipis serta dibuat celah-celah kecil selebar 1 mm,
tujuannya agar bunyi guriding lebih nyaring.
Pada
ujung-ujung bambu atau kayu bersebelahan dengan letak alat getar, dibuat lubang
selebar 0, 5 cm. Pada lubang tersebut diikatkan seutas tali yang dibentuk bulat
untuk memudahkan saat menariknya.
5. Cara
Memainkan
Cara
memainkan guriding cukup mudah, namun untuk menghasilkan bunyi yang enak
didengar, memerlukan latihan yang banyak. Atas dasar ini, sebagian orang
menganggap guriding sebagai alat musik yang kecil bentuknya tapi sulit
dimainkan.
Sebelum
memainkan guriding, hal yang perlu diperhatikan adalah cara memegangnya.
Pertama-pertama adalah jari manis tangan kiri dimasukkan ke lubang tali penarik
yang ada di salah satu ujung guriding, lalu dipintal agar pendek dan lekat.
Pada ujung ini juga, ibu jari menekan ke dalam dan telunjuk menekan ke luar.
Sementara itu, pada ujung guriding yang satunya dipegang tangan kanan, yakni
dengan mengikatkan jari telunjuk dan jari tengah pada kayu kecil penarik.
Langkah
kedua adalah bagian guriding yang ditekan dengan ibu jari telunjuk tangan kiri
dilekatkan di sebelah kiri mulut. Ujung ibu jari tangan kiri tepat berada di
sisi mulut sebelah kiri dan guriding berada di antara bibir atas dan bawah.
Sementara itu, tangan kanan memegang tali penarik (tatarikan) lalu diletakkan
di bagian kanan wajah hingga sejajar dengan pipi sebelah kanan.
Setelah
guriding berada pada posisi seperti di atas, maka untuk membunyikan guriding adalah dengan menarik tali
(tatarikan) yang dipegang tangan kanan. Tali ditarik dengan ritme tertentu
(disentak) hingga tali bergetar dan selanjutnya
guriding akan berbunyi.
6.
Kalampat
Kalampat adalah alat musik
tradisional dari Kalimantan Selatan, khususnya masyarakat daerah Labuhan
Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Kalampat adalah sejenis gendang berkepala
tunggal. Badan gendang terbuat dari batang batung atau bambu tebal berdiamter
besar. Kalampat dimainkan dengan cara dipukul menggunakan pemukul dari rotan.
Kalampat dimainkan bersama dengan agung (gong) sebagai pengiring dalam upacara
Bawanang (panen padi), Babalian (bahiaga atau upacara pengobatan yang bersifat
magis).
7.
Sarunai Banjar
Musik ini tergolong aerofon atau
alat musik tiup, perkataan Sarunai atau Sarunai, yang diambil dari kata Surnai
bahasa Persia. Surna dari bahasa Arab dan Sahnai dari bahasa india. Musik ini
terbuat dari Bambu atau kayu seperti suling terompet namun pendek, terdiri dari
4 bagian yaitu mulut, sekar bibir, badan (batang) dan corong satu sama lainya
bisa dilepas dan dipasang kembali. Serunai berfungsi sebagai alat musik
pertunjukan pancak silat. Disuku Bukit/Dayak berpungsi sebagai pengiring musik
upacara adat.
8.
Terbang Mahidin
Mahidin adalah salah satu
pertunjukan seni di Kalimantan Selatan yang menggunakan alat musik tradisional
terbang. Madihin sebagai suatu karya sastra lisan yang dipentaskan mempunyai
fungsi sebagai penyajian estitis (tontonan) yang dinikmati penonton (
Syukrani,1994:6 ).
9.
Gamelan Banjar
Gamelan
Banjar merupakan bentuk kesenian yang menggunakan beberapa alat musik
tradisional. Gamelan Banjar sendiri sudah ada sejak jaman Kerajaan Negara Dipa
pada abad ke-14 yang dibawa oleh Pangeran Suryanata ke Kalimantan Selatan
bersamaan dengan kesenian Wayang Kulit Banjar dan senjata keris sebagai hadiah
kerajaan Majapahit. Pada masa itu masyarakat Kalsel pada waktu itu dianjurkan
untuk meniru budaya Jawa.
1. babun
2. gendang dua
3. rebab
4. gambang
5. selentem
6. ketuk
7. dawu
8. sarun 1
9. sarun 2
10. sarun 3
11. seruling
12. kanung
13. kangsi
14. gong besar
15. gong kecil
Gamelan
Banjar versi rakyatan, perangkat instrumennya :
1. babun
2. dawu
3. sarun
4. sarantam
5. kanung
6. kangsi
7. gong besar
8. gong kecil
B.
Senjata
Tradisional Kalimantan Selatan
1. Sungga
Sungga
merupakan salah satu senjata yang digunakan oleh masyarakat pada Perang Banjar
di daerah Benteng Gunung Madang, Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Senjata ini
dipasang di bawah jembatan yang dibuat sebagai jebakan, sehingga apabila
dilalui oleh musuh (tentara Belanda), maka jembatan tersebut akan runtuh dan
musuh yang jatuh tertancap pada sungga tersebut.
2. Mandau
Mandau adalah senjata tradisional suku dayak yang ada
di Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan.
3. Sarapang
Sarapang secara umum merupakan senjata trisula atau
tombak bermata tiga. Namun di Kalimantan Selatan Sarapang berbentuk tombak
dengan mata tombak 5 buah yaitu 4 buah disisi dan 1 buah dipusat / ditengah.
4. Keris Banjar
Keris adalah merupakan senjata
tradisional khas yang dibuat dari besi dan campuran logam. Panjang senjata
keris ini sekitar 30 cm. Keris ini merupakan senjata yang umum digunakan oleh
masyarakat Indonesia pada waktu lampau. Namun ukiran dan lekukan keris biasanya
membedakan dari daerah mana keris tersebut berasal. Seperti halnya provinsi
Kalimantan Selatan memiliki keris khas yang disebut dengan keris banjar.
5. Parang
Parang juga merupakan senjata yang sangat umum
ditemukan di Indonesia. Parang merupakan senjata tradisional yang dibuat dari
besi dengan bentuk pipih dan salah satu bilah sisinya tajam. Biasanya gagang
parang yang berfungsi sebagai pegangan pengguna dibuat dari kayu.
Sumber :
Sekian dulu ya teman-teman, semoga membantu:)
Komentar
Posting Komentar